Mata kita, barangkali nyala suara
yang terhenti di antara kerontang kata
dan badai yang enggan kunjung reda,
serta resah yang memilih pasrah.
Lantas, untuk apa kita diculik kenangan
selain perihal berjuang dan melawan.
Sebelum senja mengucap: selamat tinggal,
lalu kita remuk bersama tangis bayi
yang sedang deman dan sedikit muram.
Manakala wajah ini ialah wajah mereka,
kita cuaca paling basah di padang kemarau.
Manakala kidung itu ialah suara mereka,
ia bunyi sumbang yang dicuri dari ladang gersang.
Dua-tiga hari ini kita belum pulang,
Ibu mencari kesana-kemari,
Bertanya kemari-kesana.
Dan jika ditanya:
mengapa sibuk mencari pencari?
Ia selalu berkata,
“Seharian mereka belum mandi.”
(Madiun, 2019)