Tangisnya yang sedikit mendung dan
muram masam, bergantungan di bibir
yang merah merona dan gampang berdusta.
Senyumnya mekar bunga sedap malam yang
sering ragu-ragu malu, seperti seorang
anak kecil yang berdansa duka
di tengah malam di ruang kepala.
Matanya dicuri bulan sabit legit, dan
telinga malam pernah mendengar ia berkata,
“Mataku bukan milik siapa-siapa.
Ia hanya ingin naik kuda, bisa juga buaya,
dan bernyanyi lagu Kereta Malam.”
Jemarinya gemulai ombak karib bintang
yang merebah di pangkal daratan,
yang kadangkala terasa lebih memesona dari
lukisan pelangi yang dilukis ibu di mataku.
Ucapan “Selamat Tinggal” menggema di ruangan ini
dari sepasang daun telingan dan bola mata.
Entah sejak kapan, hujan membuntuti bayangnya
dan aku sibuk menghitung samar langkahnya,
dan cuaca ikut bermantra,
“Segala kecantikan adalah bencana.”