Candi Borobudur, mahakarya peradaban masa lalu, berdiri kokoh di tengah hiruk pikuk dunia modern. Dulu, ia adalah pusat spiritual, tempat para biksu bermeditasi dan para peziarah mencari pencerahan. Kini, ia lebih dikenal sebagai destinasi wisata, magnet bagi jutaan wisatawan dari berbagai penjuru dunia.
Perkembangan pariwisata memang membawa dampak positif. Ekonomi lokal menggeliat, lapangan kerja tercipta, dan pendapatan daerah meningkat. Hotel-hotel mewah, restoran-restoran berkelas, dan toko-toko suvenir menjamur di sekitar candi. Masyarakat sekitar pun merasakan manfaatnya, dari pedagang kaki lima hingga pengusaha besar.
Namun, di balik gemerlapnya pariwisata, tersimpan luka yang menganga. Borobudur, yang dulu merupakan cagar budaya, kini lebih sering diperlakukan sebagai objek komersial. Nilai-nilai sejarah dan spiritualnya tergerus oleh kepentingan ekonomi.
Dulu, anak-anak desa bebas bermain dan bersenda gurau di tanah lapang sekitar candi. Kini, lahan bermain mereka tergusur oleh bangunan-bangunan hotel yang megah. Suara tawa mereka tergantikan oleh deru kendaraan wisatawan.
"Dulu, kami sering bermain layang-layang di lapangan itu," kata seorang kakek, menunjuk ke arah hotel mewah yang berdiri di bekas lapangan. "Sekarang, anak-anak hanya bermain gadget di kamar."
Perubahan ini bukan hanya merenggut ruang bermain anak-anak, tetapi juga mengubah gaya hidup masyarakat sekitar. Mereka lebih tergiur dengan gaya hidup modern, daripada melestarikan tradisi dan budaya leluhur.
"Anak-anak sekarang lebih suka makan burger daripada nasi tiwul," keluh seorang ibu. "Mereka juga lebih sering menonton televisi daripada mendengarkan cerita wayang."
Borobudur, yang dulu merupakan simbol kearifan lokal, kini menjadi saksi bisu perubahan zaman. Ia menyaksikan bagaimana budaya modern perlahan-lahan menggerus budaya tradisional.
Namun, di tengah perubahan ini, masih ada secercah harapan. Beberapa komunitas lokal mulai bergerak untuk melestarikan budaya mereka. Mereka mengadakan pertunjukan seni tradisional, membuat kerajinan tangan, dan menyajikan kuliner khas daerah.
"Kami ingin menunjukkan bahwa budaya kami masih hidup," kata seorang pemuda, anggota komunitas budaya. "Kami tidak ingin Borobudur hanya menjadi objek wisata, tetapi juga menjadi pusat budaya."
Semoga, upaya mereka membuahkan hasil. Semoga, Borobudur bisa kembali menjadi pusat peradaban, tempat di mana sejarah, budaya, dan spiritualitas hidup berdampingan dengan pariwisata.