Mentari pagi menyelinap di antara stupa-stupa Candi Borobudur, menyinari ribuan relief yang terukir indah. Ribuan wisatawan dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong datang, mengagumi kemegahan candi Buddha terbesar di dunia itu. Jepretan kamera, suara pemandu wisata, dan riuhnya pasar cendera mata membaur menjadi simfoni pariwisata.
Di kaki bukit, desa-desa di sekitar Borobudur menggeliat. Para pedagang asongan menjajakan dagangan, para kusir andong menawarkan jasa, dan para pemilik homestay menyambut tamu dengan senyum ramah. Borobudur telah menjadi sumber penghidupan bagi mereka, membawa berkah ekonomi yang tak ternilai.
Namun, di balik gemerlap pariwisata, tersimpan ironi yang pahit. Kemegahan Borobudur tidak selalu membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Harga tanah melonjak tinggi, memaksa para petani menjual sawah mereka kepada investor. Lahan pertanian menyusut, digantikan oleh hotel-hotel mewah dan restoran-restoran mahal.
Para pemuda desa tidak lagi tertarik menjadi petani. Mereka lebih memilih bekerja di sektor pariwisata, menjadi pemandu wisata, penjaga toko, atau sopir taksi. Budaya bertani yang telah diwariskan turun-temurun perlahan memudar, digantikan oleh budaya konsumtif dan hedonisme.
Di pasar tradisional, para pedagang kecil bersaing sengit dengan toko-toko modern. Produk-produk kerajinan lokal kalah bersaing dengan barang-barang impor. Para pengrajin desa kesulitan memasarkan produk mereka, terhimpit oleh biaya produksi yang tinggi dan persaingan yang ketat.
Di sekolah-sekolah, anak-anak desa diajarkan tentang sejarah Borobudur, tentang kemegahan arsitektur dan nilai-nilai spiritualnya. Namun, mereka tidak diajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan, tentang bahaya eksploitasi pariwisata, dan tentang pentingnya melestarikan budaya lokal.
Di malam hari, ketika Borobudur bermandikan cahaya lampu sorot, para wisatawan menikmati pertunjukan seni dan budaya. Para penari lemah gemulai menarikan tarian tradisional, para pemusik memainkan gamelan dengan merdu, dan para dalang memainkan wayang kulit dengan lincah.
Namun, di balik panggung, para seniman dan budayawan desa berjuang untuk melestarikan kesenian mereka. Mereka kesulitan mencari dana untuk mengadakan pertunjukan, untuk membeli alat musik, dan untuk melatih generasi muda.
Borobudur, sang mahakarya peradaban, telah menjadi magnet pariwisata yang menarik jutaan wisatawan. Namun, di balik kemegahannya, tersimpan ironi sosial yang memprihatinkan. Masyarakat sekitar Borobudur telah menjadi penonton di rumah sendiri, terpinggirkan oleh gemerlap pariwisata.
Di suatu senja, seorang kakek tua duduk di bawah pohon beringin, memandangi Borobudur yang menjulang tinggi. Ia menghela napas panjang, mengenang masa lalu ketika Borobudur masih dikelilingi oleh sawah hijau dan desa-desa yang asri.
"Borobudur telah berubah," gumamnya.
"Dulu, candi ini adalah tempat suci bagi kami. Sekarang, candi ini telah menjadi komoditas pariwisata."
Kakek itu menatap langit yang mulai gelap. Ia berharap, suatu hari nanti, Borobudur akan kembali menjadi tempat yang sakral, yang membawa berkah bagi semua orang, bukan hanya bagi para wisatawan dan investor.