Di balik dinding tulang yang kokoh membentengi,
Sebuah orkestra sunyi tak henti bernyanyi.
Bukan nada riang yang menari di udara,
Melainkan bisikan-bisikan jiwa yang terperangkap di sana.
Ada suara ragu, lirih mencemaskan hari esok,
Menyusun skenario buruk, bagai kabut yang bergolak.
"Kau takkan mampu," desisnya penuh keraguan,
Menyuburkan benih takut dalam setiap angan.
Lalu, suara ambisi, lantang penuh semangat,
Mendorong tanpa henti, melampaui batas terdekat.
"Berlari! Raih semua yang mata memandang!"
Namun seringkali lupa, pada lelah yang menghadang.
Terkadang muncul melodi kenangan yang sayu,
Mengulang adegan lama, bahagia atau pilu.
Bayangan masa lalu menari tanpa permisi,
Menyisakan senyum tipis atau perih di hati.
Ada pula suara hakim, tanpa ampun menghakimi,
Menyalahkan setiap langkah, setiap pilihan diri.
"Kau salah lagi," ujarnya dingin tak berperi,
Menghancurkan keping percaya diri yang tersisa kini.
Namun di antara riuh rendah tanpa jeda,
Terselip suara kecil, lembut bagai nada.
Suara intuisi, bisikan dari kedalaman jiwa,
Menuntun perlahan, menunjukkan arah yang nyata.
Simfoni sunyi ini terus bergema di kepala,
Campuran emosi, harapan, dan segala gundah gulana.
Belajar mendengarkannya, memilah setiap intonasi,
Mungkin kunci damai, di tengah riuhnya narasi diri ini.