Di sini, di antara kita, udara membeku,
Bukan lagi kehangatan yang dulu kurasakan itu.
Setiap kata terucap bagai hembusan salju,
Menyentuh kulit hati, meninggalkan beku.
Dulu, tatapanmu adalah mentari pagi,
Menghangatkan jiwa dari segala sepi.
Kini, matamu bagai danau membentang es,
Memantulkan kehampaan yang tak bertepis.
Sentuhanmu yang dulu kurindu setiap waktu,
Kini terasa asing, dingin bagai batu.
Tak ada lagi getar, tak ada lagi bara,
Hanya ruang hampa yang semakin menganga.
Percakapan kita bagai musim yang kelabu,
Kata-kata terucap tanpa nada merdu.
Hanya formalitas, tanpa jiwa dan rasa,
Seperti dua insan yang tak lagi bersama.
Aku merindukan tawa yang dulu renyah,
Pelukan hangat yang dulu sungguh membelah
Dinginnya malam dan ketakutan yang menyerang,
Namun kini, dinginmu lebih dalam mencengkerang.
Mungkin ada badai yang tak sempat kulihat,
Atau jurang tersembunyi yang tak sempat kujabat.
Namun yang kurasa kini hanyalah dingin yang membentang,
Terlalu dingin denganmu, hatiku membentang.
Aku bertanya pada diri, sampai kapan bertahan?
Dalam beku yang perlahan membunuh kehangatan.
Terlalu dingin denganmu, jiwa ini merana,
Menanti kehangatan yang entah kapan menjelma.