Malam sunyi merayap, dingin menyelimuti,
Bayang-bayang kenangan kembali menghampiri.
Luka yang dulu tersembunyi di balik tawa,
Kini meronta, meminta untuk diakui ada.
Tak ada bahu tempat bersandar dan berbagi,
Tak ada tangan hangat yang sudi mengobati.
Hanya diri sendiri dalam sunyi yang pekat,
Menghadapi perih yang semakin melekat.
Awalnya terasa asing, sentuhan pada nyeri,
Seperti menyentuh duri yang menusuk jari.
Namun perlahan, kelembutan mulai kurasa,
Sebuah pengakuan tulus pada nestapa.
Inilah aku, dengan segala retaknya jiwa,
Dengan jejak air mata yang pernah membasahi raga.
Tak perlu lagi topeng, tak perlu lagi sembunyi,
Kuterima setiap bagian diri yang terluka ini.
Kupeluk erat diri, sumber segala lara,
Bukan untuk merayakan duka, namun menerimanya.
Setiap goresan adalah bagian dari cerita,
Membentuk kekuatan yang tak pernah kukira.
Air mata boleh jatuh, biarlah ia mengalir,
Membasuh perih yang selama ini terukir.
Tak ada yang salah dengan merasa terluka,
Justru di sanalah, kepekaan jiwa terbuka.
Memeluk luka sendiri, bukan berarti menyerah,
Namun memberi ruang bagi hati untuk bernafas lega.
Mengakui kerapuhan, menerima ketidaksempurnaan,
Adalah langkah awal menuju pemulihan.
Kelak, jejak luka ini akan menjadi peta,
Menuntunku pada pemahaman yang lebih nyata.
Bahwa kekuatan sejati tak selalu terlihat gagah,
Namun juga hadir dalam kemampuan memeluk musibah.
Kini, dalam sunyi malam yang kian larut,
Kurasakan damai dalam pelukan yang terjalut.
Memeluk luka sendiri, adalah cara mencintai,
Diri yang rapuh, namun berani untuk kembali.