Sebuah kalimat terucap, bagai anak panah melesat,
"Akhirnya bisa ngerasain uangmu juga," begitu ia berucap.
Mengusik benak, menimbulkan tanya yang teramat,
Pantaskah bibir seorang lelaki, kata itu terungkap?
Di dalam hubungan, bukankah ada rasa saling menjaga?
Bukan menghitung untung rugi, apalagi merendahkan harga.
Uangmu adalah jerih payah, keringat yang bercucuran raga,
Bukan piala kemenangan, untuk ia nikmati dengan bangga.
Lelaki sejati, bukankah bahunya tempat bersandar?
Bukan tangan terbuka, meminta tanpa sadar.
Hatinya pelindung, bukan jurang yang tak berdasar,
Menelan rezeki pasangan, tanpa merasa gentar.
Ucapan itu bagai kerikil di tengah jalan cinta,
Menggoreskan luka kecil, namun terasa nyata.
Menimbulkan pertanyaan, di mana letak harga diri pria?
Mengapa kebanggaan sirna, demi selembar rupiah?
Mungkin maksudnya candaan, terlontar tanpa pikir,
Namun bagi hati yang mendengar, terasa getir.
Sebab cinta yang tulus, takkan pernah mengukur,
Seberapa tebal dompet, atau seberapa banyak yang terukur.
Maka jawabnya terpulang, pada nurani yang bicara,
Apakah pantas seorang lelaki, merendahkan dirinya?
Demi nikmat sesaat, lupa akan etika,
Mengucapkan kata yang merobek rasa cinta?
Semoga di relung hatinya, tumbuh kesadaran,
Bahwa memberi dan menerima, ada batas kehormatan.
Cinta bukan transaksi, bukan pula persaingan jabatan,
Namun kebersamaan jiwa, dalam suka dan derita kehidupan.