Waktu berjalan tanpa menunggu siapa pun. Kalender di meja Alya sudah berganti lembar, tetapi perasaannya tetap tertinggal di hari ketika Arka tiba-tiba menghilang.
Kadang ia tertawa kecil sendirian saat teringat betapa konyolnya ia menunggu pesan setiap pagi, seolah ponsel itu akan kembali menyala dengan nama yang dulu begitu akrab. Namun setelah tawa itu, selalu datang sepi yang menyesakkan.
Dalam hatinya, suara-suara selalu berdebat.
"Sudahlah, lepaskan. Kalau dia benar-benar peduli, dia tak akan pergi tanpa kata."
"Tapi bagaimana kalau ada alasan yang tak kuketahui? Bagaimana kalau sebenarnya dia ingin kembali, hanya belum bisa?"
"Kamu hanya menyiksa dirimu sendiri dengan menunggu."
"Tapi… aku masih mencintainya."
Monolog itu berputar, mengiringi langkahnya setiap hari. Alya mencoba menutupi rindunya dengan kesibukan. Ia menulis, melukis, dan bertemu orang baru. Tapi di balik semua itu, ada ruang kosong yang tak terisi. Ruang itu hanya mengenal satu nama: Arka.
Pernah suatu malam, Alya berbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit. Air matanya jatuh begitu saja. “Apa aku begitu mudah untuk dilupakan?” bisiknya lirih. Ia merasa seperti berdiri di tengah jalan yang bercabang: satu jalan menuju melupakan, satu jalan menuju menunggu. Tapi kakinya tak pernah benar-benar bisa melangkah pergi.
Di suatu sore hujan, Alya duduk di dekat jendela dengan secangkir teh yang mulai dingin. Ia menatap ponsel di meja, lalu berkata pelan, hampir seperti doa:
“Kalau kau kembali, aku masih di sini. Tapi kalau kau benar-benar pergi, setidaknya… semoga kau masih mengingatku sekali saja.”
Tidak ada jawaban. Hanya suara hujan yang jatuh tanpa henti.
Alya menutup matanya, membiarkan pikirannya kembali ke kenangan enam bulan yang dulu begitu hangat. Ia tidak tahu apakah Arka akan kembali atau selamanya menjadi cerita yang tak selesai.
Yang ia tahu, hatinya masih menggantung di antara rindu dan harapan—menunggu sebuah kabar yang entah akan datang atau tidak pernah sama sekali.