Kopi di cangkir putih itu terasa semakin dingin, ruangan sempit berukuran 3x4 meter dengan dinding yang sudah berjamur itu juga terasa semakin mendinginkan tiap suasana yang menyeruak di sudut sudut kamar.
Kau masih terus menengok keluar jendela, mengabaikan kopi yang susah payah kuhidangkan, jika kau tahu bahwa itulah kopi terakhir yang tersisa di rumah ini mungkin kau akan menegaknya dengan air mata.
“Haruskah kubangunkan Sudar, Mas?”
“Tidak, tidak usah, biarkan ia tidur.”
“Dari Kamis kemarin ia selalu menanyakanmu, Mas.”
“Lantas kau jawab apa?”
“Ku jawab bapak sedang dinas di luar kota.”
Kau tersenyum,
“Jika besok ia menanyakan hal itu lagi, tetap jawab seperti itu.”
Tunggu dulu, besok? Apakah itu berarti kau akan pergi lagi?
Aku masih mengingat betapa bahagianya engkau saat Sudar muncul dari rahimku, seluruh keluargaku tidak ada yang datang, entah pada saat itu mereka terjebak macet atau terjebak pada kemarahan yang mendalam. Dukun bayi itu mengangkat Sudar selagi engkau mengadzaninya, tangan penuh tattoo itu membuatmu malu untuk mengangkat Sudar kecil yang suci, bahkan menurut orang yang kutemui di pasar, tanganmu sudah pernah mencabut kehidupan yang membuatmu semakin merasa tidak layak untuk menimang kehidupan.
“Aku akan pergi, Dik.”
Kau, kau, kau adalah pria yang bertanggung jawab atas setiap tangisan di separuh malamku, yang membuatku belajar mengaji meskipun sering aku ditertawakan Sudar karena masih terbata bata dalam membaca hijaiyah sedangkan ia sudah mencapai juz 3.
Aku masih ingat bagaimana kau melamarku, bagaimana kau datang ke rumahku membawa motor butut beserta roti buaya yang kau beli di toko seberang pasar, tetapi kau tidak membawa orang tuamu. Melihatmu dicaci oleh kedua orang tuaku membuatku ingin menangis, bahkan hampir setiap orang di komplek sudah tau bibitmu, anak hina hasil hubungan gelap seorang pelacur dan koruptor mengadu nasib di sebuah tempat pembuangan sampah mengumpulkan tiap batangan besi untuk kau kilokan kembali, hingga tak heran sewaktu pertama kali engkau kubelikan parfum kau nampak sumringah, dengan harap harumnya parfum itu dapat menutupi busuknya masa lalumu.
“Mereka sudah mengintip dari tadi, Dik”
Bodohnya aku, membuatkan kopi tak lantas membuatmu betah di rumah ini, jika bisa aku ingin langsung mengunci pintu dan jendela agar kau tak pergi kemana-mana. Tapi malam selalu bisa melewati celah tersempit di dunia, dan pada ujungnya kau akan tetap pergi.
Tentu saja aku heran saat dulu kau tiba tiba berkata kepadaku bahwa kau ditawari Koh Tjung bekerja padanya, aku tahu jelas apa pekerjaan Koh Tjung, ia pernah keluar masuk penjara berkali-kali tetapi kaki tangannya akan selalu berganti, setelah mereka tertangkap, mereka tidak akan pernah kembali.
Apakah parfum yang kubelikan dulu kurang Mas? Hingga engkau kembali ke jalan yang busuk ini.
Kau beranjak dari kursimu, meninggalkanku terpaku sambil menatap malam yang sekarang terlihat amat jelas setelah kau membuka pintu itu lebar lebar.
Sekarang malam tak lagi mengintip, ia sudah bisa melihat dengan jelas isi rumahku yang sudah koyak.
Kau menengok ke arahku untuk terakhir kali, tersenyum lalu mengucap salam.
Diluar sirine mulai dibunyikan, lampu polisi menyala sangat terang merubah gelap malam menjadi biru bercahaya, lambat laun sirine beserta dirimu pun hilang menjauh memasuki kegelapan malam yang semakin gelap.
Kututup lagi pintu rumahku rapat rapat dengan cepat, agar malam tak bisa mengintipku sedang menangis.
Terdengar pintu kamar terbuka, Sudar terbangun dari tidurnya.
“Ibuk, Bapak sudah pulang belum?”
“Belum Dar, Bapak masih dinas lama di luar kota”
“Sudar titip oleh-oleh ya!”
Aku tersenyum sambil berusaha menutupi air mataku, Sudar duduk di kursi bekas bapaknya duduk, ia terdiam dan menengok ke arah jendela yang masih terbuka sedikit,
karena seperti bapaknya, ia yakin bahwa selalu ada yang mengintip dari balik malam.