Pertemuan dengan Seorang Perempuan
Cerpen
Kutipan Cerpen Pertemuan dengan Seorang Perempuan
Karya katamawar
Baca selengkapnya di Penakota.id

“Pria itu sudah punya istri.”


Akhirnya dia membuka suara, setelah hampir satu jam kami sama-sama berteduh di halte yang kosong ini. Tubuhnya masih basah kuyup, hujan belum juga reda. Dan entah bagaimana, tak satu pun bus menghampiri kami. Semesta seakan-akan ingin menahan kami di sini dulu, berdua dan bercerita.


Aku sedikit terkejut atas kalimat pertama yang dia ucapkan untuk membuka percakapan ini. Barangkali dia sudah menangkap kebingungan dan keingintahuan dari diriku sebab sedari tadi yang kulakukan adalah mencuri pandang dengan mata yang khawatir. Ya, bagaimana tidak khawatir? Seorang perempuan basah kuyup sedang menangis sendirian di sebelahku. Ingin bertanya kenapa, tapi aku pernah dengar bahwa perempuan yang sedang menangis tidak butuh pertanyaan kenapa.


“Pria itu sudah punya istri, tapi tak mau kalau mesti melepaskanku.”


Dia bicara lagi. Kupikir, pilu di dadanya sudah terlalu menumpuk sampai-sampai ia tak tahan dan terpaksa meluapkannya kepadaku, seorang asing yang baru kali pertama ia temui.


“Kau baik-baik saja?”


Bodoh. Pertanyaan bodoh dariku yang entah tak tahu harus bicara apa. Sudah jelas ia tampak begitu tidak baik, mengapa juga masih kutanyakan?


“Sama sekali tidak.”


Aku mengalihkan pandanganku sejenak. Memperhatikan tetesan hujan yang jatuh dengan rapi dari atas halte. Dalam hatiku bertanya, apa yang paling menyakitkan dari mencintai selain membagi hati? Aku tidak tahu. Sama seperti ketidaktahuanku soal harus bagaimana aku memperlakukan perempuan di sampingku sekarang. Memeluknya? Tahu nama saja tidak. 


“Kau pasti sedang berpikir kalau aku orang aneh.”


“Tidak. Aku hanya bingung saja,”


“Ya, wajarlah kau bingung. Wajarlah manusia bingung. Kita memang tidak pernah betul-betul paham soal apa-apa.”


“Memangnya, pria itu siapa?"


Kuberanikan diri untuk bertanya. Meski tak bisa memberikan pelukan, barangkali aku bisa memberikan kedua telinga untuk mendengarkan ceritanya malam ini. Tak menyelesaikan apa pun, tapi setidaknya pilu yang menumpuk di dadanya bisa sedikit berkurang.


“Dosen psikolinguistik di kampusku. Ya, dia memang mahir berkomunikasi dengan siapa pun. Merayu, membujuk, menjebak, dan… entahlah, ingin kuhajar saja orang itu.”


“Mau kubantu?"


“Apa? Menghajarnya?”


Aku menangguk, dia tertawa kecil.


“Kalau kau menghajarnya, maka kau akan dipandang sebagai orang paling jahat di muka bumi. Dia? Korban paling tersakiti.”


“Sejak kapan?”


“Apanya?”


“Kau dan dia.”


“Sejak tingkat pertamaku sebagai mahasiswa. Tapi, sungguh, aku sama sekali tidak tahu kalau dia sudah beristri. Aku menyerahkan diriku, hatiku, tubuhku, tanpa tahu apa pun soal itu. Ya, silakan, kau boleh menganggapku bodoh dan menjijikkan.”


Ketimbang mengganggapnya demikian, aku lebih tertarik untuk menyelami kisahnya lebih dalam lagi. Mendengarkan luka-luka yang barangkali hanya dia simpan sendirian selama ini. Tapi, sebentar, mengapa dia bisa begitu terbuka padaku, ya?


“Karena kau orang asing, sama sekali asing. Kita tidak saling mengenal, besok pun tidak bertemu lagi. Kau akan lupa aku dan ceritaku. Mungkin karena ini aku merasa begitu mudah menceritakannya padamu.”


“Kau baru saja membaca pikiranku?”


“Tidak, tapi, matamu berkata demikian.”


“Kau pandai membaca mata, ya.”


“Tapi tak pandai membaca langkah kaki sendiri.”


Perempuan itu menghela napas. Terdengar begitu berat.


“Sekarang istri dari pria itu sudah tahu, tapi tidak tentang segalanya. Semua kesalahan dituduhkan kepadaku. Seorang mahasiswa penggoda yang tetap mengejar dosen pujaannya yang sudah beristri meski berkali-kali ditolak. Itulah aku sekarang. Kata mereka."


“Pria itu bagaimana?”


“Dia menemuiku tadi. Memohon untuk tidak pergi dan tidak memberi tahu siapa-siapa. Dia bilang, kami bisa memulai dari awal. Memulai rahasia ini lagi, dengan lebih hati-hati.”


“Kau mau?”


“Entahlah, sudah kubilang aku tidak pandai membaca langkah kaki sendiri. Tapi, saat kutanya dia akan melepaskan siapa, dia tidak menjawab. Kuanggap itu sebagai jawaban bahwa dia tidak mau melepaskan siapa-siapa.”


“Kau mencintainya?"


“Konyol. Menurutmu, mengapa aku bisa bersamanya sampai dua tahun ini? Hanya untuk iseng? Waktuku tidak seluang itu.”


Ya, cinta katanya. Semakin dewasa, semakin aku paham bahwa cinta bukan sekadar tentang senang dan bahagia. Lebih dari itu, mencintai kerap kali menjadi salah satu cara untuk bunuh diri. Menyakitkan dan mematikan.


Tak ada saran apa pun yang bisa kutawarkan kepada perempuan itu. Perempuan yang airmatanya sudah mulai mengering, barangkali memang sudah habis. Perempuan yang entah siapa namanya, tapi berhasil membuatku mengenal luka hatinya dalam sekejap. Perempuan yang mencintai sekaligus membunuh diri sendiri.


Aku diam, dia juga. Sejenak kami membiarkan suara hujan menjadi satu-satunya suara yang mengisi semesta saat itu. Satu bus berhenti di depan kami, tapi tak satu pun dari aku dan dia yang beranjak dan memutuskan pergi. Kami masih di sana, sampai bus itu pergi, sampai suara hujan pelan-pelan tiada, sampai tetes-tetes air yang turun dari atap halte mulai berhenti.


“Kau pulang ke mana?”


“Entahlah.”


“Mau sampai kapan di sini?”


“Sampai merasa butuh pulang. Kalau kau mau pergi sekarang, pergi saja. Aku tidak apa-apa.”


“Aku seperti tidak bisa pergi.”


“Lalu? Mau menemaniku sampai pagi?”


“Memang kau mau di sini sampai pagi?”


“Sudah, kau pulang saja. Maaf telah merepotkanmu dengan cerita konyolku.”


“Apa yang bisa kulakukan sekarang?”


“Pulang dan beristirahat, bagaimana?”


Aku terdiam. Kutatap kedua mata yang airmatanya memang sudah benar-benar kering. Tapi bukan berarti dia sudah tak mau menangis. Bukan berarti luka di hatinya sudah berhenti mengiris-ngiris.


“Baiklah, aku pulang. Kau jangan terlalu lama di sini. Malam tidak seaman itu untuk perempuan.”


Hanya itu satu-satunya pesan terakhir yang bisa kuberikan sebagai seorang manusia asing. Satu bus berhenti. Aku beranjak dan memutuskan pulang. Aku tidak tahu apa yang membuat kakiku terasa begitu berat melangkah dari sana. Rasanya, seperti, aku masih harus di sana menemani perempuan itu. Barangkali sampai pagi. Sampai nanti.


Tapi aku tetap memilih pulang. Seperti katanya, pulang dan beristirahat saja. Pada akhir percakapan, aku merasa dia sudah membangun sebuah batas di antara kami. Seperti ingin menyampaikan bahwa porsiku hanya sampai pada mendengarkan ceritanya saja barang sebentar, bukan untuk menemani dan menguatkannya sampai nanti. Ya, sebab, siapalah aku ini?


Meski begitu, meski katanya aku ini adalah orang asing, meski katanya kami sama sekali tidak saling mengenal, bukan berarti aku langsung semudah itu melupakan pertemuan kami. Malam itu, hujan, halte, cerita, dan airmata, semua terekam begitu jelas di kepalaku.


Bahkan sampai aku pulang ke rumah, sampai aku terbangun keesokan harinya, sampai aku mendapati kerumunan orang yang ramai memperbincangkan mayat seorang perempuan di halte pagi hari, sampai aku menyadari bahwa pertemuan kami malam itu memanglah yang pertama sekaligus yang terakhir dan tak akan disusul dengan pertemuan ketiga apalagi keseratus.


Aku tetap mengingatnya.

14 May 2019 09:50
354
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: