Mein Liebe
Cerpen
Kutipan Cerpen Mein Liebe
Karya kristiaxdtd
Baca selengkapnya di Penakota.id


Penjual bunga itu selalu tersenyum padaku. Keriput di pipi nya tak menghalangi nya untuk menyala.

"Hallo. Nyonya"

Aku mendengarnya. Tapi aku tetap berjalan lempeng seakan tak melihat siapapun. Benar. Aku enggan membalas nya. Aku tak tahu mengapa aku begitu sinis berurusan dengan nya. Bukan karena dia tampak kuno. Seakan ada kekuatan dalam diriku yang melarang berurusan dengannya. Dia berdiri di samping lapaknya,

tangan nya memeluk beberapa buket bunga Tulip merah saat aku lewati lapak bunganya. Diantara puluhan lapak lain yang sedang mekar. Tulip merah. Didekapnya bunga itu, hingga terlihat menyatu dengan dirinya. Seakan ia ingin kemurnian bunga itu masuk ke dalam dadanya. Sedangkan mawar, lili, chrysanthemum dibiarkannya bergerumbul dalam ember-ember dagangannya.


Salju turun semalaman. Kemanakah mas Bram menghabiskan waktu semalam? Aku merasa seperti lilin yang menunggu padam. Aku hanya berusaha dia sedang lembur di kantornya. Atau terjebak macet. Salju membuat jalan dan rumah rumah, penuh dengan gumpalan putih.


Aku merasa mas Bram pulang malam tadi. Aku mendengar gagang pintu diputar, suara langkah kaki mengikuti. Aku pura-pura tidur saja. Gelap. Dalam hening aku menikmati aromanya. Dua hari tak pulang, wangi Mas Bram tetap sama. Ia mandi dimana? Makan dimana?

Tanpa berkata, ia mendaratkan kecupan di pipi ku. Kecupan yang dingin, membawa ke mimpi yang panjang. "Schlaf gut mein Schatz"


Sebuah aroma kopi membangunkan ku. Aku terkerjap. Ku langkahkan kaki menuju dapur. Jendela depan wastafel terbuka, memperlihatkan embun yang belum cair dengan sempurna. Sedangkan sebuah kopi mengepulkan uap, menghangatkan pagi, menyelamatkan hari ini. Ku seruput kopi itu, ini benar-benar buatan mas Bram. Aku bisa merasakan sensasinya. Bagaimana ia menuang air ke dalam cangkir, memberi sesendok gula, bagaimana ia mengaduknya.

"Prima, danke. "

Sangat ingin ku ucapkan. Semuanya meninggalkan identitas dirinya. Sebelum separuh cangkir itu berkurang, Kopi itu menatapku iba.

"Pergilah ke ruang tengah, lihatlah apakah dia datang?"

Aku berpikir sejenak. Aku balik melemparkan pertanyaan padanya.

"Benarkah mas Bram sudah pulang?"

Bergegas setengah berlari aku menuju ruang tengah. Aku memeriksa, aku harap ada bunga hari ini. Kutelanjangi ruangan itu.

Harapan ku salah, tak ada bunga disana.

"Mengapa mas Bram tak membelikan aku bunga?"

Setiap harinya, mas Bram biasa membelikan ku bunga. Ia akan mengganti air nya lalu ia isi dengan bunga baru. Ia tidak bertanya apakah jenis bunganya. Ia mengganti nya begitu saja. Sedangkan aku asyik menaburkan gula, mengolesi roti dengan butter atau madu. Menata roti, kopi dan raspberry. Jenis bunga terkadang menyesuaikan bulan, terkadang juga hari. Kadang Tulip, kadang Lili juga Lavender. Ia tata bunga itu sedemikian rupa, hingga bersatu cantik seolah saudara yang tengah bergandengan.

Terkadang aku melontarkan candaan.

"Mengapa tidak jadi florist saja?"

"Ahh... tidak, ini terlalu biasa"

Jemari mu begitu ramah menggunting tangkai itu. Sedangkan aku, perempuan, merangkainya malah membuat tangkainya patah.


"Mengapa hari ini begitu menjadi hari yang panjang?"

Sarung tangan yang aku pakai tak dapat menghalangi hawa dingin menembusnya.

Aku ingin cepat pulang. Mas Bram pasti menunggu. Jika aku berlama di stasiun, ia akan lelah menunggu dan bisa pergi lagi. Tanpa pamit. Aku tak suka seperti itu. Jam buatan Swiss hadiah anniversary darinya menunjukkan kurang sepuluh menit lagi waktu sore minum teh bersama. Apakah masinis-masinis itu tidak dapat mengemudi? Percepatlah sedikit trem mu.


"Aku pulang..."

Tak ada jawaban atau sahutan

Ia sama sekali tak tertarik Apfelkuchen. Hati ku mulai berdesir. Kemanakah mas Bram pergi?

"Adakah ia berselingkuh dengan wanita lain?"

Tidak. Aku tepis pikiran itu jauh-jauh. Mas Bram bukanlah orang semacam itu. Aku tidak bisa membohongi nya, aku benar-benar rindu padanya.


"Temui aku di Donau"

Begitu tulisnya.

Aku memaki. Mengapa dia seperti ini? Hari ini bukanlah ulang tahun ku, bukanlah Anniversarry. Aku begitu curiga padanya. Dia bukanlah romantis yang hebat. Dia sudah tak pulang tiga hari, dan sekarang ia mengajak bermain petak umpet seperti ini? Jika aku bertemu dengan ya, akan ku tarik hidungnya itu. Sudah lama tak ke Donau. Sepuluh tahun lalu kami pertama kali bertemu disini. Aku seorang mahasiswi frustasi dan dia sedang membaca buku. Mengulurkan tangan sebelum aku membenamkan diriku sendiri.

"Nona, jangan"

Kata-kata pertama yang kau ucapkan pertama kita bertemu. Kau berteriak. Padahal sama sekali tak kenal. Kau menguatkan aku di bulan-bulan berikutnya. Menikahi ku. Disaat daun-daun berguguran. Angin musim gugur, lukisan merah yang hampir hilang.


Aku mendekat. Air nya membeku. "Mas Bram dalam Donau." Aku melihatnya. Sungguh aku melihat mas Bram membeku dalam Donau.

"Uhh... tidak. Kepala ku terasa amat sakit"

Aku pulang


Sialan. Kenapa aku bertemu dia lagi. Dia seperti penguntit. Di musim dingin seperti ini seharusnya ia duduk di depan perapian, membaca buku dan menikmati secangkir coklat. Hal itu lebih baik baginya, daripada menjual bunga disaat seperti ini. Siapa orang yang membeli bunga di cuaca dingin? Memang aku skeptis. Biarkanlah seperti ini.

"Bagaimana kabarmu Nyonya?"

"Ya, aku baik"

Mengapa orang ini begitu ramah? Padahal berulang kali ku mengacuhkannya.

"Lange Zeit habe ich Frau nicht getroffen, jedes Mal, wenn wir uns trafen, rannte Lady immer von mir. wenn ich etwas geben möchte!"

"Siapa dia?"

Ia mengambil sebuah buket dalam ember. Bunga yang cantik. "Ini titipan bunga untuk nona"

Ini Lily. Ia memberikannya padaku. Putih, segar, namun terlihat duka diantara kelopaknya. Hatiku berdesir. Aku merasa De javu.

"Von wem?"

"Miss Ehemann"

"Ist mein Mann gestern hergekommen?"

Sekejap, mata penjual bunga itu nanar. Aku menangkap kesedihan di matanya. Gelombang itu ikut merambat padaku. Tanpa alasan air mata ku menetes pelan.

"Bukan. Ini sudah sejak lama. Dua tahun yang lalu. Seperti biasa, suami anda membeli bunga kepada saya sebelum dia berangkat kerja. Namun, di suatu hari yang malang, dia..."

"Kecelakaan"

Kata-kata itu keluar begitu saja. Seakan aku tahu seluruh kisahnya.


"Saya selalu tersenyum kepada nona, namun anda menghiraukan saya setiap hari. Ketika Desember. datang. Nona akan kemari. Membeli bunga saya, dan saya akan menceritakan hal ini. Terus berulang seperti ini"

"Naja" Hanya itu yang dapat kuucapkan. Aku tak mampu menatap lama matanya.

"Saya juga ikut kehilangan dia. Bukan karena dia adalah pelanggan setia saya. Dari caranya, saya tahu dia punya kasih untuk Nona."

"Maafkan aku. Aku telah membuang kenangan kelam itu. Dan seperti nya kenangan itu benar-benar hilang. Aku juga melupakan anda bagian dari kenangan itu. Hanya menyisakan kenangan indah, membuat kenangan ini terus berulang."

10 Jun 2023 16:10
14
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: