"Aku tahu sebenarnya, kamu iri padaku bukan?" Tukas Sita, membuka keheningan perjalanan yang sudah lapuk sedari setengah jam yang lalu.

"Apa maksudnya iri padamu?" Bagas bahkan belagak tidak melakukan kejahatan apapun

"Baik mari kita pahami dengan seksama,"

Setengah jam lagi mereka akan sampai di tugu macan, dimana titik lampu merahnya paling lama. Tiga ratus enam puluh detik.

"Kamu iri padaku karena aku punya ibu yang perhatian kan? Dia sayang padaku. Memasak makanan favoritku. Merawatku dengan baik saat aku sehat ataupun sakit. Dia benar-benar wanita yang hebat. Bukan kamu saja yang iri Gas, teman sekelas ku juga iri kalau aku cerita kebaikan ibuku!"

Bagas fokus menyetir sembari mendengarkan ceramah wanita yang sikapnya selalu dingin kepadanya itu.

"Apa kamu kira aku gak iri dengan hidup kamu?" Sita akhirnya tak tahan lagi

Dan respon Bagas hanya menoleh. Ia tak percaya, sisi mana yang harus di irikan untuk anak yang konglomerat miskin kasih sayang sejak lahir dan harus melihat Bapaknya gonta-ganti pasangan setiap hari. Semuanya cuma karena duit. Dan pahitnya, ibu kandungnya datang dan pergi dari kehidupan dia dan Bapaknya karena urusan duit.

"Apa yang kamu iri dari aku, Sit?"

"Ya kamu anak orang kaya, bebas punya banyak pilihan. Mau kuliah, ok. Mau kerja, ok. Mau jadi bos, ok. Mau jadi pengangguran pun, ok. Dan kamu punya Ayah!"

Pernyataan yang sembilan puluh delapan persen fakta itu membuat Bagas kini terkekeh

"Ok. Kita imbang. Kamu punya Ibu tapi gak punya Bapak. Dan aku punya Bapak tapi gak punya ibu!"

Keduanya kini sama-sama tertawa. Menertawakan takdir hidup mereka.