Empat puluh delapan jam sebelum detik itu membawa ku ke keramaian dan mungkin saja dalam keramaian itu ada kamu. Aku berusaha menyiapkan mental, jawaban, pertanyaan dan mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi. Agar aku tidak terlihat cupu dan merindukanmu. Kamu yang pernah berusaha menaklukan hatiku. Kamu yang selalu mengalah. Kamu yang bisa mengubah suasana hatiku.
"Mustahil dia datang!" Segera tepisku
"Kita gak akan ketemu"
Aku tidak tahu di sudut kota mana ia tinggal. Yang pasti ia sudah lama tidak di kota ini.
Bagaiamana jika bertemu? Ya hadapi saja. Toh itu takdir. Dan bagianku adalah berperan sesuai versi terbaik ku kan?
Bagaimana jika dia ternyata mengajak ku ngobrol di kafe tepi sawah yang awalnya menjadi lokasi ngafe bersama teman-teman cewek rumpi rempong? Ya turuti sajalah. Tidak ada salahnya mengobrol sore di kafe tengah sawah, sembari menunggu indahnya sang surya terbenam. Ahh... syahdu bukan? Lalu apa yang kalian perbincangkan? Tentu bertanya kabar, pekerjaan, proyek sekarang, membicarakan hal-hal baik, gonjang ganjing politik, deretan film menarik dan .....
Aku tidak tahu apa yang ada di ujung paragraf akhir. Tentu saja bukan nostalgia. Bukan, bukan, jelas bukan. Lupakan, lupakan!
Kita tidak akan mengobrol. Kita tidak akan duduk bersama dalam satu meja kafe. Kita memang mengenal. Tapi, kita tidak memiliki kepentingan satu sama lain. Tidak ada masalah yang harus dibahas, didiskusikan, dicari jalan keluarnya. Atau meluruskan kesalahpahaman barangkali. Tidak. Bahkan seingatku, kamu tengah marah padaku.
Dua jam menuju acara aku berusaha agar tidak gugup dan berpikir kemana-mana. Ku usapkan kuas maskara ke bulu mata ku agar lentik.
"Ahh... tidak" tanganku yang sedikit gemetar membuat kuasnya menabrak kelopak mataku
Bagaimana jika hubungan kalian tidak sebatas itu. Bagaimana jika hubungan kalian belanjut?