Niser. Sebuah kedai kopi yang kecil namun legit di dalam gang area Taman Heulang, Bogor. Aku tidak pernah menyangka akan mengunjunginya lagi jika bukan karena mengenal seseorang di sana. Dalam Bahasa Jepang, kata “Niser” (: クラス) sedikit banyak memiliki arti “to live” atau “to spend one’s time”. Ada juga yang bilang, artinya kelas atau ruang.
Such a nice meaning. Mengingat, tak jarang aku, atau mungkin kita semua, merasa bahwa kehidupan ini hanyalah membuang-buang waktu yang kita sendiri tak tahu berapa lamanya.
Berkali-kali, dalam tulisan-tulisanku sendiri, aku mengatakan bahwa kehidupan seringkali terasa seperti sebuah lorong gelap yang tidak berujung, di mana kita berjalan tanpa gambaran apa-apa.
“Halo! Lama nggak ketemu,” ucap salah satu barista di sana, menyadari kemunculanku. Ia adalah teman dari temanku yang bekerja disana.
Aku tersenyum. Gadis kecil yang kukenal itu sudah menuntaskan kuliahnya ternyata. Dan memilih menekuni pekerjaanya menjadi Roaster ( Tukang giling biji kopi) Kami sebenarnya hanya pernah satu kali bertemu, di kedai kopi lain di bilangan Cikini.
Kedai kopi yang tampaknya ia takkan pernah datangi lagi, karena tidak sedikit pun menyamai standar lidahnya yang bahkan terbiasa melakukan roasting dan brewing sendiri. Dalam urusan kopi, tampaknya 'Gadis kecil" ini hati-hati dan presisi, tapi tidak cukup rigid untuk sampai menyalahkan selera orang lain. Aku yakin, itu akan menjadi nilai yang baik untuk dirinya sendiri, ke mana pun ia melangkahkan kaki.
"Gua pengen ngopi, hari ini rasanya capek.,” tuturku, menjelaskan.
Aku disodori daftar menu. Gadis itu menjabarkan dengan telaten, membuatku semakin yakin untuk menetapkan pilihan. “Columbia,” telunjukku ada di atas tulisan tersebut pada papan menu.
Dalam kepalaku, terbesit ingatan tentang kopi El Salvador yang pernah kucoba di suatu tempat, di kota Bandung, 4 tahun lalu. Mungkin, karakteristik biji kopi Amerika Selatan akan sedikit banyak memiliki kesamaan. Aku cukup yakin, Columbia akan menutup hari ku dengan tenang..
“Gimana kerjaan?” Tanya gadis itu lagi, memecah lamunanku tentang salah satu pemikirin Nietzsche, bahwa dunia ini hampa nilai.
“Yah. Aku nggak bisa bilang mudah, tapi pain dan bebannya masih tolerable sejauh ini, jadi aku masih stay. Masih makes sense dan layak untuk kujalani,” jawabku.
Ya. Pada akhirnya menjalani hidup adalah soal menoleransi apa-apa yang kita tidak sukai. Menerima bahwa duka selalu beriringan dengan suka. Bahwa berbahagia bukan berarti tidak memiliki alasan untuk bersedih.
Di masa lampau, masyarakat Eropa yang terpapar paham nihilisme berbondong-bondong mengakhiri hidup. Akan tetapi, pencetus pemikiran tersebut, Nietzsche justru meninggal dengan teramat alami, dikarenakan usia yang sudah uzur. Artinya, hidup yang sebagian orang yakini kosong-lompong, justru memberikan ruang yang mungkin hampir tidak terbatas, untuk kita memberikan makna tersendiri.
Tapi, dengan segenap luka yang sedang radang-radangnya di dadaku, aku merasa senang duduk di depan bar, memandangi kucuran air panas dari ceret. Blooming. Lima belas sampai empat puluh lima detik pertama pada penyeduhan, pelepasan gas dari bubuk kopi yang hendak diekstraksi.
Aku jadi teringat banyak hal manis yang pernah, sedang, dan mungkin akan kupunyai di masa depan sampai aku tiada. Hal-hal remeh yang mungkin bisa dikatakan nyaris tak bernilai, tetapi ternyata menjadi keping-keping alasan setiap hari melanjutkan perjuangan. Nikmatnya tidur siang dengan embusan udara sejuk dari luar jendela rumah Ibu, minum secangkir teh panas yang dipasangkan dengan pisang tanduk goreng sambil menonton Doraemon di weekend pagi hari, berpelukan dengan kawan lama untuk pertama kalinya setelah berpisah tujuh tahun lamanya, sampai dengan sensasi menghirup buku aroma buku yang baru saja dibeli.
Jadi, salah satu lagu favoritku dari Radiohead berjudul “True Love Waits” kumaknai berbeda dari sebelumnya.
Just don’t leave
Don’t leave
I’m not living
I’m just killing time
(Radiohead — True Love Waits)
Jika dahulu, di 2017 aku mengejawantahkan makna lagu tersebut sebagai sebuah tulisan dengan judul yang sama di blog, True Love Waits , yang penuh ratapan dan pertanyaan, kali ini aku belajar lebih keras untuk menerima sekalipun sesuatu tidak berakhir sesuai harapan. Bahkan tidak sedikitpun mendekati batas minimum ekspektasiku. Tidak ada “selamat tinggal”. Tidak ada pelukan perpisahan. Tidak ada apa-apa kecuali pertanyaan yang menggantung di kerut dahiku.
Kali ini, aku memutuskan untuk menelan kenyataan. It is what it is. Dan akan terus hidup. Hidup yang benar-benar hidup, sebisaku, sekalipun sesekali rasanya malah seperti layu perlahan-lahan.
Aku tidak akan lagi berkata “jangan pergi” kepada yang memang hendak pergi, setidaknya di bibir (karena hatiku menginginkan sebaliknya). Aku akan berdoa untuk kebaikannya, selalu dan sebanyak-banyaknya, hingga langit penuh oleh gema suaraku sendiri. Hingga hujan turun bersama petir, meluruhkan kesedihan dan ketidakterimaanku akan semua hal yang pergi tanpa izinku.
Aku akan berusaha melepaskan, merelakan, apa atau sesiapa yang memang semestinya terbang ke tempat lain di belahan kehidupan ini. Tapi, kuharap selama mereka ada di sisiku, mereka bukan hanya buang waktu. Semoga kemarin, selagi denganku, mereka sepenuhnya hidup.
Can I get an amen?