Hujan yang turun pada pukul lima sore tadi belum lagi habis. Hujannya tidak begitu deras, namun cukup membuat kuyup orang yang berjalan santai di bawahnya. Sekarang pukul sembilan malam dan hujannya belum juga berhenti. Mungkin langit belum selesai bersedih, sepertinya ini hari paling berat yang pernah ia alami.

Di bawah suara rerintikan hujan juga kesedihan langit yang tak kunjung mereda, ada sepasang kekasih yang saling mencintai berbaring bersebelahan dengan perasaan bahagia. Jantung mereka beradu detaknya layaknya balap lari, siapa yang lebih kencang dan sampai pada puncaknya duluan.

Sepasang kekasih itu berbaring di atas kasur busa di sebuah kamar berukuran enam meter persegi. Mereka diselimuti kegelapan malam yang suram karena hujan juga oleh kematian listrik malam itu. Mereka berbaring menghadap satu sama lain kemudian saling membelai pipi dan rambut satu sama lain. Saling menatap dalam-dalam, mengatakan cinta, mengecup kening, lalu saling memeluk dengan hangat.

Di bawah selimut itu mereka saling mengulum bibir dengan lembut dan penuh kehati-hatian agar tidak menimbulkan suara, agar tidak ada yang curiga dan berpikir di antara mereka sudah terjadi apa-apa. Beberapa kali suara cecapan bibir yang saling beradu itu mengudara juga. Mungkin karena dibuai bara asmara yang begitu panas, mereka jadi sedikit kebablasan. Kadang-kadang gigi mereka beradu sampai menimbulkan bunyi mulut sedang mengunyah sesuatu. Lalu mereka saling menatap dan terkekeh dengan kompaknya.

Di bawah kegelapan malam yang dingin itu, tidak ada seorangpun yang mereka pikirkan kecuali satu sama lain. Cinta tumbuh di antara kelembaban bibir mereka yang saling mencumbu. Juga anak-anak kerinduan yang mereka tanam lewat sentuhan-sentuhan di seluruh bagian tubuh yang hanya tertutup selembar selimut lembut berbulu. Malam itu begitu panjang, tenggelam pada perasaan-perasaan yang tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata.

Cinta terasa begitu nyata di atas kasur busa malam itu.