Namaku Perjalanan
Kutipan Cerpen Namaku Perjalanan
Karya menitipkancerita
Baca selengkapnya di Penakota.id

Namaku Perjalanan. Aku tumbuh bersama ingatan yang menempel di pundakku. Entah siapa yang iseng membawakannya, tapi ingatan itu juga tumbuh bersamaan dengan pertumbuhanku. Aku merawat benih ingatan yang mungil ini dengan hati-hati. Berharap semua yang ada padanya tidak pernah layu dan terkapar lemah di antara padang rerumputan hijau yang seolah-olah menjanjikan kesuburan. Ingatan ini kuajak berjalan terus tanpa henti, meskipun sering kelelahan, aku selalu memberinya vitamin dan mengajaknya ke dokter bila rasanya masih tidak enak meski sudah dikerok dengan balsem atau minyak kayu putih.


Ia tidak boleh bermalas-malasan, pikirku. Ini semua demi kebaikannya. Demi menjadi bibit yang baik kelak ketika lahir ke dunia. Ia selalu aku ajak bertamasya ke Gramedia untuk membeli buku, lalu membacanya. Sekalipun itu sulit dan butuh banyak waktu, minimal, ia sudah tidak asing dengan aroma buku lalu pelan-pelan bisa menyukainya.


Ingatan ini juga aku jaga dari hal-hal buruk cinta monyet anak-anak muda. Najis. Mereka hanyalah gangguan kecil namun dampaknya amat besar yang sungguh-sungguh harus dijauhi saat ini. Ini bukan waktunya mengenalkan benih ingatan itu dengan mereka. Bisa-bisa malah merusak seluruh sel otaknya. Aku sungguh menjaganya mati-matian di bagian ini.


Berjuang sendirian menjadi orang tua dari benih ingatan ini tidak mudah. Aku melalui banyak hal, mengorbankan banyak kepentingan untuk itu. Aku seperti berjalan di sebuah hutan rimba yang belum pernah terjamah manusia. Aku selalu membawa parang ke manapun arah angin menuntun aku. Parang itu kugunakan untuk menebas ranting-ranting pohon yang menghalangi pandangan atau rerumputan liar yang menjerat kakiku. Ya, dalam perjalanan itu aku sendirian. Benar-benar sendirian menggendong ingatan itu di pundakku.


Apakah kamu bertanya pernahkah aku mengharapkan bertemu seseorang lagi di belantara itu? Jika ya, maka kujawab pernah, tentu saja. Sekarang izinkan aku balik bertanya, manusia mana yang tidak pernah merasa putus asa ketika sedang berada di belantara tanpa seorang teman? Tentu saja di setiap langkah ada doa dan harapan yang aku titipkan pada hujan, pada angin, dedaunan, rumput, dan pohon-pohon rindang yang aku lewati. Agar kiranya mereka menunjukkan jalan yang benar, yang medannya tidak begitu curam. Agar kiranya mereka mau menunjukkan jejak-jejak kehidupan yang lain.


Aku mengembara bertahun-tahun lamanya, dan benih ingatan itu kini bertambah besar. Badannya langsing, namun perutnya agak buncit. Mungkin itu akibatnya ia suka menyuruhku membuat mi instan di malam hari. Kulitnya cukup bersih, berwarna kecokelatan. Ia tinggi sekira 155 centi meter. Rambutnya tebal dan pendek kira-kira sebahu. Wajahnya lumayan cerah karena selalu rewel untuk dibasuhkan wajahnya pada air mengalir di setiap sungai yang kami temui selama perjalanan. Matanya bulat, alisnya tebal. Pandangannya tajam menusuk jauh ke dalam. Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku menilainya sebagai ingatan yang judes—tidak ramah bintang satu.


Ia sudah mulai berjalan sendiri. Tentu saja ia kusuruh berjalan sendiri. Badannya yang berat itu, bahkan lebih berat dari badanku. Bagaimana mungkin aku mampu menggendong monster di pundakku kemudian berjalan menyusuri hutan belantara? Ada untungnya juga dia bertambah dewasa. Tapi terkadang ia sulit dikendalikan. Ingatan itu benar-benar merepotkan. Kadang ia berjalan sesukanya, berlarian ke mana-mana, berjingkrak-jingkrak seperti orang gila. Sungguh aku kuwalahan mengurusnya.


Sampai suatu ketika, doaku dikabulkan semesta. Waktu itu, ketika sore sehabis hujan gerimis kami melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, ingatan itu menginjak sebuah topi rimba berwarna hijau army. Di dalam hutan kami menemukan topi rimba berwarna hijau army! Selama bertahun-tahun, di dalam belantara itu, kami menemukan benda yang bukan milik kami! Aku begitu bahagia, betapa semesta selalu mendengar harapan-harapan yang aku titipkan selama ini?


Aku dan ingatan kemudian berjalan lagi, menyusuri belantara sambil membawa topi rimba hijau army itu. Pada setiap langkah kami menitipkan doa dan harapan-harapan agar semesta mempertemukan kami dengan sang pemilik topi. Untuk kesekian ribu kalinya, aku melakukan adegan yang sama; menebas ranting-ranting dan rerumputan yang menghalangi jalan kami. Dan seperti biasa, ingatan selalu berlarian kegirangan. Aku bingung, mengapa dia selalu mempunyai energi berlebihan dan tidak pernah merasa kelelahan? Di tengah-tengah perasaan heran ketika sedang memperhatikan ingatan, kakiku ternyata tak sengaja menginjak ular berwarna cokelat agak sedikit mengilap sisiknya. Badannya sebesar jempol tanganku, panjangnya kira-kira seperti ikat pinggang sekolah. Aku tidak tahu apa jenisnya tetapi sepertinya bukan ular berbisa, namun yang jelas ular itu menggigit lututku sebagai bentuk pertahanan. Aku kemudian kehilangan keseimbangan lalu terjatuh di samping pohon beringin yang lembab. Ingatan berteriak panik, tapi aku berusaha menenangkan. Kujelaskan padanya bahwa ini sama sekali bukan ular berbisa tetapi memang cukup sakit kakiku untuk berjalan. Ingatan kemudian berjalan mendahului aku. Ia merebut parangku dan memintaku untuk mengizinkannya menjadi pembuka jalan.


Ingatan, ternyata tumbuh menjadi perempuan yang pemberani. Ia menebas-nebaskan parang itu pada ranting dan rumput yang menghalangi jalan kami percis seperti yang aku lakukan selama bertahun-tahun ini, sementara aku masih terduduk mengobati lukaku sendiri. Ingatan kembali, kemudian menggandeng aku untuk berjalan lagi menyusuri belantara kehidupan yang tiada akhir ini. Ia bercerita selama satu jam ia membuka jalan tadi, ia bertemu dengan teman baru di ujung jalan ini. Aku tersentak. Panik. Aku bertanya apakah ingatan baik-baik saja? Apakah orang itu berusaha melukainya? Ia bilang tidak, malah membantunya membuka jalan. Bahkan mengajarinya membuat api unggun agar kami tidak kedinginan ketika didatangi hujan. Ahh, ingatan! Sepertinya aku terlalu memanjakanmu sehingga kamu tidak pernah aku ajari caranya membuat api unggun. Kamu malah diajari oleh orang yang belum kamu kenal siapa dia. Kami berhenti di ujung jalan yang telah dibuka itu. Aku harus beristirahat lagi, karena kakiku belum sepenuhnya sembuh. Sedangkan ingatan, harus membuka jalan lagi, menyiapkan makan malam, juga menuntun aku berjalan.


Perjalanan ini tidak akan berakhir sampai aku mati. Rutenya akan selalu seperti ini. Kami membuka jalan, menyiapkan makan malam, menyusuri belantara tanda tanya yang tiada ujungnya. Kehidupan telah menuntun aku berjalan tanpa henti. Mungkin itu sebabnya orang tuaku menamai aku Perjalanan. Sekali lagi perkenalkan, namaku Perjalanan. Aku tumbuh bersama ingatan yang kurawat dengan penuh kasih sayang. Dan mengenai topi rimba itu, semoga di ujung belantara ini kami menemukan pemiliknya.

15 Jul 2022 17:17
61
Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: