Romli
Cerpen
Kutipan Cerpen Romli
Karya msalshaalf
Baca selengkapnya di Penakota.id
Hai, namaku Romli, izinkanlah aku bercerita tentang hidupku. Karena aku salah satu anggota kelompok Jungleman. Kamu tidak boleh melarangku untuk bercerita atau kamu kena bogemku. Aku masih muda. Tubuhku besar dan segar, muka lumayan sangar namun cukup menarik untuk perempuan-perempuan bohay. Dikota ini siapa yang berani denganku? Hahaha, tidak ada yang berani denganku dan seragamku! Jika ada yang menyenggolku itu tandanya perang!. Tenang itu dulu kok.

***

Jadi gini, aku anak tertua dari dua bersaudara. Karena kelakuan nakalku sejak sekolah, aku ditinggal keluarga keluar negeri dan mereka menetap disana meninggalkanku. Anjing memang! Halah sudahlah. Aku tinggal sendiri, hidup bebas tidak ada yang menggangu. Tak perlu ada ceramah dari orang tuaku. Hidupku liar. Keluar rumah, pergi ke basecamp, bertemu kawan, malak dipasar atau tempat hiburan. Kadang kadang angkutan kota aku mintai uang. Dari situlah penghasilanku. Kalau malam aku senang-senang ditempat karaoke langganan kami. Jungleman. Disana aku bebas mabuk-mabukan, nyanyi bersama si cantik nan bohay. Waduh jadi ingat pantat-pantat gemas yang berseliweran depan muka. Dengan lampu remang memantapkan gairahku sebagai insan manusia tersenang.


Oh ya aku lupa memperkenalkan kelompokku. Namanya Jungleman. Hanya orang kuat yang bisa menjadi bagian kelompok kami. Makanya tak ada yang berani dengan kami. Kamilah yang terkuat di seantero kota ini. Aku hanya anggota biasa memang tapi pengaruhku cukup kuat disini. Bukan Romli namanya kalau tidak berpengaruh. Ku akui kelompokku memang kumpulan para preman yang berbaiat pada preman terkuat yang kini mulai sepuh, namanya Juragan Muslih, atau biasa dipanggil Agan. Agan memang disegani saat mudanya hingga sekarang. Ia panutanku. Kerjaan kami hanya nongkrong saja di basecamp sebenarnya, tapi sebagian dari kami ada yang nongkrong dijalan untuk malak. Tidak ada yang berani pada kami. Polisi sekalipun gemetar mendengar nama Jungleman. Lucu sekali bukan. Terkenal sebagai kelompok kuat dikota terkadang kami disewa sebagai penjaga keamanan orang-orang kaya atau penting dan tempat hiburan semisal karaoke dan club malam agar tak terganggu dengan bajingan-bajingan so jago. Terkadang juga jadi tukang pukul. Solidaritas antar anggota kami junjung tinggi. Aku bangga menjadi Jungleman.

Jika aku keluar rumah dan mengelilingi kota tentu aku pakai seragam kebanggaanku. Kemeja berwarna hijau tentara dengan bordiran logo dibelakangnya sudah cukup membuat masyarakat segan padaku. Jangan lupakan kacamata hitam dengan kacanya yang menutupi seluruh bagian mata, gaya rambut spike klimis meninggi dengan balutan gel pomade sebagai pengeras tekstur dan memakan permen karet. Aiiihhhh, ganteng kali bukan. Itu bagian atas. Mari bicarakan bagian bawah. Cukup dengan celana jeans yang robek secara horizontal dibagian lutut sebelah kanan dan sepatu kulit ala cowboy tanah Amerika sana. Wiiih semakin mantap saja aku berjalan di trotoar jalanan kota.

Ini bagian yang penting aku ceritakan padamu. Masih aku ingat waktu itu menjelang malam. Aku menggunakan sepeda motorku dari rumah meluncur ke basecamp. Ku lihat disana ada Agan dan enam orang kawanku.

“Nah, li, baru nyampe? Yah darimana aja sih? Tuh si Iman dikeroyok tadi ga tau sama anak mana. Diparkiran karaoke, pas mau dikejar eh, udah pada kabur. Dikejar dijalan, eh malah ga ke kejar ngilang dia, cepet bener.” Salah satu kawanku memberi info. Sejenak aku bengong melihat kawan-kawanku mukanya merah padam semua. Sampai Agan pun masuk ke ruangannya dengan muka tidak bersahabat. “Anjing! Kok bisa? Kalian semua gimana sih? Gitu aja gak becus! Terus Iman sekarang dimana?” Teriak aku pada kawan-kawan. “Dia di RS sekarang sama bininya.” Jawab satu kawanku yang duduk di sebelah ruangan Agan. Aku diam sejenak lalu terdengar Agan memanggilku. Spontan aku bergerak cepat keruangannya dan kulihat Agan sedang duduk dikursinya sambil menempelkan kedua sikunya dimeja dan jari-jari saling menggenggam. “Gua takut orang-orang tadi datang lagi. Gua udah suruh Rudy ama yang lain jaga disini sampe pagi. Dan lu pilih beberapa orang untuk berjaga di lapangan (tempat hiburan wilayah kekuasan Jungleman)” perintah Agan. Tak perlu lama aku katakan siap.

Sudah kupilih beberapa dan ku sebarkan mereka. Aku memilih berjaga di karaoke langganan. Aku berjaga diluar saja. Ditempat parkiran dimana tadi siang Iman dipukuli. Aku agak aneh dengan kejadian tadi. Padahal karaoke masih tutup. Kenapa Iman dipukulin? Dan kenapa Iman kesini? Siapa mereka? Jarang-jarang ada yang berani seperti ini. Satu jam, dua jam, 3 jam masih bisa aku pantau. Ditemani sebotol anggur merah, aku merasa segar. Ku teguk dan ku teguk lagi anggur merah. Surga dunia bayangku.

Sinar matahari nampak kemerahan tanda malam segera dimulai dan tempat karaoke mulai beroperasi. Tiba-tiba datang segerombolan motor berisik mendatangiku. Mereka membuat kekacauan. Menggulingkan motor yang terparkir, memecahkan kaca mobil yang terparkir juga. Aku segera masuk terlebih dahulu kedalam dan bersembunyi dimeja resepsionis. Benar saja, mereka menyasar Jungleman. Dari segala kebisingan diluar aku mengenal satu suara yang aku tebak dia Ipul. Ipul kawanku dulu di Jungleman namun karena ia kalah saing, akhirnya dia berkhianat dan mengumpulkan preman-preman yang tidak lolos seleksi penerimaan anggota Jungleman dan mungkin ini kelompok barunya. Untungnya ada amer sebagai doping keberanianku dan kucampur sebutir obat sebagai suplemen tambahan untuk berkelahi. Setelah ku teguk habis setengah botol lagi. Kepala mulai pusing dan badan terasa ringan. Keberanianku meningkat. Langsung saja aku keluar dari persembunyianku lalu berteriak, “Turun kalian semua anjing! Berisik banget!” Pertempuran satu lawan banyak pun tak terhindarkan. Satu demi satu bogem kulancarkan tepat di hidung, pipi, mulut dan dagu mereka yang berusaha memukuliku. Haduh biyung, ternyata jumlahnya banyak sekali. Sedang keasyikan mengeluarkan jurus-jurus mematikan, hingga tak disangka ada yang yang menusukku menggunakan belati dari belakang. Awalnya aku masih kuat walau belati masih tertancap dipunggung. Hingga tenagaku melemah dan darah makin deras mengucur belum lagi dipukuli banyak orang. Pandanganku mulai kabur selagi tangan berayun-ayun tak sampai menyiksa orang. Badan makin dingin dan akhirnya aku menerima pukulan terakhir tepat diwajah. Semua gelap dan pikiran kosong.

***

Entah untuk berapa lama aku seolah tertidur. Saat kubuka mata semua hitam pekat. Aku kaget, aku berteriak hingga aku menangis. Tak disadari aku menangis sejadi-jadinya. Padahal sangat jarang seorang Romli ini menangis. Terakhir yang bisa ku ingat ketika baru lahir. Hingga sebuah cahaya terang datang padaku. Makin dekat datangnya cahaya makin terlihat bentuk seperti manusia. Tapi tunggu, wajahnya saja yang bercahaya. Tubuhku akhirnya terlihat. Ya, hanya tubuh yang terlihat, sekelilingku tetap gelap. Aku kaget lagi karena ternyata aku telanjang bulat. Ia semakin dekat dan aku semakin takut. Tiba-tiba.

“Hai Romli! Aku Malaikat kiriman Tuhan. Aku ditugaskan mengantarmu ke tempat yang semestinya kamu tempati.” Suaranya keras terkesan galak dan menggema. Walaupun aku tak bisa melihat mukanya. Wajahnya bercahaya dan bajunya jubah putih bersih sebersih-bersihnya. “Eh gua dimana sih? Kenapa gua disini? Kenapa malaikat gak ada sayapnya?” Tanyaku konyol karena saking takutnya. Malaikat tadi hanya tertawa kecil dan berkata, “Jangan konyol. Lebih baik secepatnya kamu ikut aku.” Takutku mulai berkurang. Tapi aku naik darah sekarang karena beraninya makhluk ini memerintahku. “Berani juga kamu menyuruh. Lu gak takut? Lu ga tau gua hah? Gua Romli anak….” Malaikat itu langsung memotong perkataanku “Yayaya, kamu anggota Jungleman, kelompok preman bajingan itu. Aku muak dengan tingkahmu yang selalu begitu jika berhadapan dengan manusia lain. Sayangnya sekarang kamu sudah bukan di dunia. Dan kamu sudah mati karena kehabisan darah saat berkelahi.” Aku terdiam kembali. Ternyata aku sudah mati, “Ah sialan! Kenapa harus sekarang gua mati. Dasar Ipul bangsat!” Pikirku. Aku kembali menangis duduk sambil menutup wajah. “Ayolah pria besar. Dulu kamu begitu pemberani. Siapapun yang mengganggumu kamu hajar tanpa dosa. Tercatat dalam catatan hidupmu, kamu memukul 967 kali memukul seseorang, 950 kamu menang sisanya kamu kalah. 13 orang meninggal karena ulahmu.” Sekarang suaranya berubah seperti suara yang ramah dan bersahabat. Aku masih takut mati walaupun aku sudah mati. Aku diangkat untuk berdiri. Malaikat itu menggunakan sihirnya menghentikan air mataku. Oh tidak, mungkin karena wajahnya yang begitu terang hingga membuat mataku kering. Badanku lemah rasanya.

Setelah beberapa saat aku dibopongnya. Aku sudah bisa berjalan dan mengikuti Malaikat itu. Setiap kutanya kemana kita akan pergi, Malaikat selalu menjawab tempat yang pantas untukku. Semuanya begitu gelap. Yang bisa kulihat hanya tubuhku sendiri dan tubuh Malaikat. Langkah demi langkah perasaanku mulai tak enak. Udara berasa semakin panas. Aku mulai panik. Malaikat itu begitu senang nampaknya sambil bersenandung puji-pujian kepada Tuhan. Hingga akhirnya kami sampai pada sebuah ujung yang sangat bercahaya, warnanya merah, dan bisa kutebak sejak Malaikat mengatakan mengantarku ke tempat yang pantas untukku.

Kamu bisa menebaknya bukan? Yap, benar sekali. Digerbangnya tertulis ‘Selamat Datang Di Neraka’. Aku termasuk golongan pendosa.

Aku kaget dan takut. Kutarik tangan Malaikat itu dan aku mulai memohon-mohon untuk tidak dimasukkan ke neraka. Malaikat itu berusaha melepaskanku namun aku enggan melepaskan tangannya. Sambil menangis aku masih merengek seperti bayi yang meminta ASI. Malaikat bisa lolos, aku berganti pegangan pada kakinya. “Kamu ini menyusahkan sekali ya! Tidak hidup tidak mati menyusahkan saja! Cepat lepaskan” bentaknya padaku. Namun tetap ku teruskan rengekku. Hingga akhirnya.

“Baiklah cukup! Biar aku yang bicara pada Tuhan atas permintaanmu.” Akhirnya aku bisa bernafas sedikit lega. Dan Malaikat pun menghilang dalam sekejap. Suasana kembali gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba saja aku berdoa dalam kegelapan. “Tuhan Engkau begitu Pengampun, ampuni aku ya Tuhan. Aku tobat! Aku tobat” terus begitu doaku hingga beberapa saat.

Malaikat tadi datang lagi dan memberi kabar, “Tidak bisa Romli, kamu memang pantas di Neraka. Percuma saja.” Katanya pasrah.

“Ayolah masa gak ada keringanan. Kasih gua waktu sehari saja buat tobat.”

“Ya tidak bisalah, kamu pikir ini duniamu? Kamu bisa bebas menyogok dengan orang dalam. Ini dunia setelah kehidupan kawan!” Jelas Malaikat memberi tahuku. Sejenak aku berpikir, benar juga ini bukan dunia. Aku tidak bisa menjadikan Malaikat ini sebagai orang dalam. Bodohnya aku! Aku hanya bisa diam saja. Tiba-tiba Malaikat menghilang lagi dan semua menjadi gelap. Aku jadi ingat semua dosa yang aku lakukan saat aku hidup. Menjadi jelas semuanya, aku jelas mengingat dari awal aku berbuat dosa hingga aku ditusuk belati itu. Aku ingat betul! Aku kembali untuk ke sekian kalinya menangis. Kali ini aku menangisi dosa-dosaku. Beberapa kali aku meminta maaf pada Tuhan, ayah dan ibuku. Aku sungguh-sungguh pendosa yang berat. Akhirnya aku pasrah.

Malaikat tadi pun datang lagi. Namun, kali ini dia membawa buku yang sangat tebal. Benar-benar tebal. Dia jatuhkan buku itu, suaranya terdengar sangat berat. Aku heran, “Maha Baik Tuhan kita, ia menyuruhmu menulis semua dosa yang pernah kamu buat. Kerjakan perintahnya kali ini. Ini kesempatan bagimu untuk mendapat keringanan.” Seru Malaikat. Seraya ku ucapkan syukur doaku terkabul. Ia mengeluarkan sebuah pena yang sangat indah untukku menulis, sedikit bercahaya dan berwarna warni. Namun saat pena itu ditanganku, langsung berubah menjadi pena yang sangat buruk, cahayanya hilang dan warna pudar seperti cat rumah yang kusam. Mungkin ini perwujudnya perilaku diriku. “Baiklah itu tugasmu. Jangan sampai ada yang terlewat. Tuhan tadi memberimu ingatan sejak awal kamu muncul ke dunia hingga kamu mati. Ingat itu baik-baik. Kamu, aku tinggal sejenak, ku beri sedikit cahaya agar kamu dapat menulis dengan nyaman. Sampai jumpa.” Malaikat tadi menghilang. Ini kesempatan terakhirku, tak akan aku sia-siakan.

Halaman demi halaman, lebar demi lebar sudah ku isi penuh tinta catatan hidupku yang kelam. Sesekali aku menangis kembali teringat kembali dosa bejatku. Aku tahu Tuhan melihatku tapi rasanya aku diamati begitu dekat sekarang. Oh Tuhan maafkan aku.

Rasanya sudah sangat lama aku menulis tapi setelah ku lihat. Baru 3/4 dari buku tebal ini dan dosaku belum semua tertulis. Disini aku tidak tahu siang dan malam karena hanya ada cahaya terang yang menerangiku untuk menulis saja. Tidak ada rasa kantuk dan pegal yang aku rasakan. Apakah ini kekuatan Tuhan? Mungkin saja.

Rasanya sudah bertahun-tahun aku menulis tanpa berhenti. Tanganku begitu cepat mencatatkan setiap detik dosa yang ku buat. Tuhan masih mengawasiku dan akan mengawasiku terus dari jarak yang sangat dekat.

Akhirnya dosaku rampung ku tulis. Aku yakin tidak ada yang terlewat. Buku tebal ini penuh dengan dosaku. Malaikat pun datang lagi ia menanyai kabar dan tugasku. Dibawanya buku tebal itu untuk diberikan pada Tuhan. Aku ditinggal lagi sendiri. Inilah waktu penentuanku.

Tak lama Malaikat datang lagi.

“Bagus sekali, kamu menyelesaikan tugasmu dengan baik Romli. Tapi sayangnya Tuhan tidak akan menempatkan kamu di surga.” Ini berita buruk bagiku.

“Bagaimana dengan dunia?”

“Ya mana bisa, bodoh! Kamu sudah mati.” Sialan, Malaikat ini meledekku.

“Tuhan memberimu kesempatan untuk mengabdi pada Tuhan.” Kata Malaikat. “Baiklah aku akan menjadi abdi Tuhanku.” Seruku. “Kalau begitu, kamu akan menemaniku menemui pendosa lain. Dan tugasmu menjadi tukang pukul bagi manusia pendosa. Kamu tidak akan pernah menemui surga ataupun neraka.” Jadi tukang pukul? Ini mah passion gua bangetlah. Gua terima tugas ini daripada gaul sama Ifrit.

***

Ya begitulah, kisahku dan sekarang aku mengabdikan diriku pada Tuhan menjadi tukang pukul-Nya. Dulu aku memukul seseorang tanpa alasan yang jelas. Sekarang aku jelas memukul seseorang dengan alasan tugas Tuhan.

Jadi sekarang kamu tidak perlu takut lagi denganku yang suka malak dijalanan kota. Kamu tak perlu lagi takut denganku karena aku sudah dikubur di halaman belakang basecamp Jungleman. Oh iya kata Malaikat yang sekarang menjadi kawanku ini, kuburan Agan bersebelahan dengan kuburanku. Pantas saja kemarin aku memukuli orang yang pernahku kenal.
03 Feb 2019 00:51
407
Garut, Kabupaten Garut, Jawa Barat
5 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: