mengapa puisiku selalu didahului tanya
yang seperti sepasang jendela di sebuah kamar kosong
atau pintu yang kehilangan kunci sebab tak berpenghuni
kuning cahaya lampu seperti telingamu yang malu
kursi-kursi tak peduli seseorang akan duduk atau pergi
tapi aku memilih singgah, memesan secangkir kehangatan
dan secawan kerinduan dengan bonus semangkuk kesedihan
tapi seseorang yang antre di depanku memesannya lebih dulu
sebelum menentukan menu, aku dihadiahi segelas kekecewaan
barangkali hadiah akan menyebuhkan orang-orang dari penyesalan
dan aku beruntung mendapatkan keduanya dengan cuma-cuma
dinihari, aku bertanya lagi daftar menu terbaru
ada secangkir duka yang dibuat dari pelukan ibu, katanya
sambil menahan ngilu yang rintik di dadaku, tanyaku bisu
malam larut jadi fajar mengambang di lautan
di sini, aku seperti baris-baris kursi
tak memiliki kehendak apa pun untuk berkehendak
aku ingat seseorang pernah mengatakan:
untuk tidak melakukan apa pun adalah bagian dari kehendak itu
lalu aku menghendaki sesuatu yang barangkali tak pernah kukehendaki
tanyakan lagi sedang apa kita singgah di sini
dengan outer hitam yang itu-itu juga
catatan harian yang hampir kehilangan sampulnya
bangku yang telanjur karib dengan rasa sakit
juga isi kepala dengan tanya yang masih sama
di kafe ini, keramaian jadi angin
yang melewati lubang hidungku
atau serangga yang pura-pura mati?
di tempat sesunyi ini, tanya menjadi tumbuhan rambat
melilit kepalaku yang gagal mengerti isyarat-isyarat
yogyakarta, 2020