Segalanya runtuh tanpa suara.
Bukan petir, bukan badai,
hanya… retak kecil yang kubiarkan tumbuh
di tempat yang seharusnya suci.
Aku duduk di antara yang telah pergi dan yang tak pernah datang,
dan tak satu pun darinya bisa kupeluk tanpa melukai.
Dunia tak memberiku pilihan,
atau barangkali… aku yang tak layak diberi apa-apa.
Cintaku adalah kesalahan yang tahu diri—
ia tak mengetuk, tak berseru,
hanya menatap dari jauh
dengan mata yang dipenuhi permohonan yang sudah basi.
Aku kehilangan seseorang.
Bukan karena direbut,
tapi karena aku terlalu lama berdiri di ambang,
dan lupa memilih sisi mana yang harus kutinggalkan.
Dan kini,
tak ada pintu yang membuka.
Tak ada nama yang bisa kupanggil
tanpa membuat langit menoleh dengan murka.
Aku tak ingin dimengerti.
Aku hanya ingin diterima
sebagai reruntuhan yang tak minta dibangun ulang,
sebagai bayangan yang tak ingin menyentuh cahaya.
Ketidakberdayaanku tak bersuara,
ia menyamar menjadi tawa,
menjadi senyum yang tak sampai ke mata,
dan malam-malam yang tidur dengan mata terbuka.
Jika aku adalah luka,
biarlah aku tak dibalut,
agar aku tahu rasa sakitnya selayaknya,
sebagai bentuk pertanggungjawaban
atas cinta yang kutanam
di ladang yang bukan milikku.
Dan bila aku harus sendiri,
biarlah kesendirian ini tak kosong.
Biarlah ia menjadi altar,
tempat aku menyembah semua yang tak bisa kumiliki,
dan belajar menyebut namaku sendiri
tanpa gemetar lagi.