Setiap hari,
aku mencintaimu lebih dari yang sanggup ditanggung jiwaku sendiri.
Dan setiap malam,
namamu menggigil di rongga hatiku,
seperti mantra yang tak kunjung selesai dibaca.
Kau—
adalah bayang yang berjalan dalam dadaku
tanpa pernah menginjak tanah,
dan aku adalah langit
yang terus meredup agar kau bisa bersinar
meski tak satu pun cahayamu jatuh padaku.
Cintaku padamu bukan bara—
ia kabut:
diam, pekat, menyelinap ke celah hidup yang tak kau sadari.
Aku mencintaimu dalam diam yang mencakar langit,
dalam sunyi yang melubangi langit-langit jiwaku sendiri.
Kau mungkin tak pernah tahu,
betapa setiap detik bersamamu
membuat hatiku bergetar seperti tali kecapi yang dipetik angin—
indah, tapi tak pernah selesai menjadi lagu.
Dan jika rindu ini adalah makhluk,
maka ia duduk di dadaku,
menghitung detak yang patah,
dan memeluk hatiku yang menganga
dengan tangan yang dingin dan tak bernama.
Aku tahu kau bukan milikku.
Tapi sungguh,
jiwaku tetap berlutut setiap kali bayangmu lewat.
Bukan meminta,
hanya menyembah diam-diam
cinta yang tak bisa kupeluk…
juga tak bisa kuusir.