Kita bertemu,
seperti dua gema yang tak pernah sempat menjadi suara.
Aku datang tanpa maksud menggenggam,
hanya ingin menjadi hujan sebentar,
yang jatuh tanpa mengganggu musim yang kau pilih untuk tumbuh.
Kau tersenyum padaku—
senyum yang seperti api dingin: membakar lambat, tapi tak meninggalkan abu.
Dan aku mengangguk,
sebagai pohon yang tak lagi punya daun,
tapi masih berdiri karena pernah kau singgahi di musim lalu.
Kau bilang:
jangan dekat,
karena bayangku masih hidup di kaca hatimu
dan kau takut retaknya mencerminkan cinta yang baru.
Aku paham,
karena aku pun masih hidup
di antara detak yang tak ingin kudengarkan,
dan harapan yang tak sempat kutanam
tapi tetap tumbuh di belakang mataku, setiap kali aku menutupnya.
ini aku mencintaimu
seperti menatap langit malam yang tidak kumiliki—
aku tahu ia luas,
aku tahu ia cantik,
aku tahu aku tidak bisa ke sana,
dan tetap saja aku berdiri,
setiap malam,
menatapnya…
sambil diam-diam menjadi langit itu sendiri.