

Aku mencintainya,
seperti bumi mencintai hujan yang datang di musim orang lain—
tidak tergesa,
tidak pula memaksa awan berpaling.
Aku hanya menengadah,
karena jiwaku percaya:
suatu hari, mungkin ia akan jatuh kembali ke pelukanku.
Ia telah memilih jalan,
dan tangan yang kini menggenggamnya bukan tanganku.
Namun hatinya,
kadang masih menyebut namaku dalam senyap yang tak disadari.
Dan aku mendengarnya—bukan dengan telinga,
melainkan dengan bagian terdalam dari jiwaku yang belum selesai mencintai.
Banyak yang berkata,
harapan hanya akan menyesakkan dada.
Tapi aku tidak menaruh harap pada dunia,
aku menaruhnya pada Tuhan—
yang menciptakan waktu,
dan tahu persis
kapan dua jiwa boleh bertemu tanpa melukai siapa pun.
Aku tidak ingin merebutnya.
Aku hanya ingin menjadi tempat yang boleh ia pulangi,
jika nanti luka mengajarinya bahwa rumah tidak selalu berarti siapa yang lebih dulu datang.
Dan bila malam ini ia tertidur
dengan nama lain yang disebut dalam doa,
biarlah begitu.
Karena doaku hanya berisi satu:
semoga cinta kita tetap hidup,
meski tidak tergenggam,
meski hanya aku yang menjaga nyalanya.
Aku menunggunya,
bukan sebagai pahlawan yang ingin menyelamatkan,
melainkan sebagai taman
yang akan selalu hijau,
bila suatu hari ia ingin singgah
dengan damai.

