Beberapa hari lalu, ia datang—

bukan lewat suara,

melainkan lewat hening yang menggetarkan dinding hatiku.

Kami duduk di ruang yang tak bertuan,

berbincang seperti dua bayang yang pernah saling merangkul cahaya,

namun kini hanya menggenggam senja yang tak utuh.

Ia tersenyum, dan aku merasa seluruh malam menjadi teduh.

Namun Tuhan rupanya sedang mengajarkan sesuatu:

ia hadir bukan karena mencariku,

melainkan karena ingin melarikan diri dari badai yang mengancam rumahnya sendiri.

Ada seseorang di hidupnya—yang tengah bersilang paham dengannya,

seseorang yang telah lebih dulu disandingkan oleh waktu,

dan meski ada luka yang dibiarkan menganga,

ia tak bisa menyangkal benih-benih pengorbanan yang telah ditanam oleh sosok itu.

Dan aku?

Aku hanya taman kecil di sudut yang tak pernah disinggahi,

namun tetap berbunga demi harapan,

bahwa suatu hari ia akan berjalan ke sini—bukan karena tersesat,

tapi karena benar-benar memilih pulang.

Padahal aku pun berjuang,

tanpa kata, tanpa panggil.

Aku adalah udara di antara napasnya yang tak disebut,

tapi selalu ada.

Aku tidak memintanya datang—aku hanya menunggu,

seperti bulan menanti malam yang bersih dari awan.

Jika suatu hari langkahnya penat,

dan angin membawanya kembali—bukan oleh cinta,

melainkan oleh hampa,

katakan padanya:

ada sebuah pintu yang tak pernah digembok,

dan ada jiwa yang diam-diam menyiapkan peluk.

Di situlah rumah.

Dan aku, selalu ada di dalamnya.