

Ia kembali, bukan sebagai pejalan yang tersesat,
melainkan sebagai senja yang pulang memeluk cakrawala
setelah meneteskan seluruh cahaya di bumi asing.
Di matanya, kulihat perjamuan bintang yang pernah padam;
di bibirnya, kudengar gema tawa yang telah lama ditanam angin.
Namun setiap langkahnya membawa bayangan lain,
bayangan seorang lelaki
yang pernah menjadi mata air di padang dahaganya,
yang pernah menjadi langit tempat mimpinya berlayar.
Aku mendengar getar hatinya,
bukan hanya karena rindu,
tetapi karena ada pelabuhan yang kini sunyi.
Maka aku berdiri di ambang takdir,
seperti lilin yang menyala di dua jendela:
satu menerangi jalan pulangnya,
satu berdoa bagi kapal yang karam di tengah malam.
Wahai Tuhan,
peluklah hati lelaki itu
dengan lautan yang tak mengenal badai.

