Aku menatap nanar ke arah tumpukan tas yang teronggok dipinggir jalan. Sebentar lagi, mobil yang disewa oleh mas Hardja akan membawa ku menuju rumah mertua ku.
Rasanya masih setengah sadar saat mengingat bahwa aku sudah menjadi istri orang.
Disebelah ku, Marni masih menggenggam tangan ku dengan pelan, aku lihat matanya sudah sembab. Berulang kali di sekanya matanya yang sayu.
Saat tas-tas mulai dibawa masuk ke dalam mobil, genggaman Marni menguat. Aku tahu, ia bukan hanya berusaha menguatkan ku, melainkan juga menguatkan dirinya sendiri.
“Dik, ayo.” Ucap mas Hardja
Perlahan ku lepaskan genggaman Marni, perlahan aku menoleh ke arahnya, kami lalu berpelukan.
“Marni, aku pergi ya. Sehat selalu. Semoga pernikahan mu lancar, dan maaf aku ndak bisa datang. Semoga kapan-kapan kita bisa ketemu lagi ya.” Aku memaksakan senyuman walaupun rasanya getir.
Kami berdua tahu bahwa itu hanyalah omong kosong. Bisa ku pastikan bahwa kami tidak akan pernah bertemu lagi. Masing-masing dari kami akan di boyong oleh para suami, entah kemana pun itu. Tugas kami hanya patuh.
“Iyam…” tangis Marni pecah.
Entah. Aku pun tak tahu. Apakah Marni sedang menangisi kepergian ku, atau menangisi dirinya sendiri. Hanya ia yang tersisa diantara kawan-kawan kami, hanya ia yang tersisa yang masih memiliki kesempatan untuk memilih. Sedang aku dan kawan-kawan ku yang lain harus bersiap untuk memberikan seluruh hidup kami kepada keluarga baru kami nanti.
Pelan, Marni mengurangi pelukannya. Aku lalu berpamitan kepada Bapak dan Mamak, juga adik-adikku. Berbeda dengan Marni yang seolah tak rela melepasku pergi, senyum sumringah
justru mengembang diwajah Bapak dan Mamak.
Satu beban telah pergi. Mungkin begitu batin Bapak. Salah satu pekerja ku telah pergi. Mungkin begitu batin Mamak. Jatah makan kami bertambah. Mungkin begitu batin adik-adikku.
Perlahan mobil berderap menyusuri jalanan desa, pikiran ku menerawang serta menebak-nebak bagaimana kelanjutan dari ini semua. Mungkin beginilah perasaan kawan-kawan ku saat diboyong oleh para suami. Berada jauh dari orang tua. Harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan keluarga baru. Ada ketakutan yang merongrong didalam dada sana.
“Ndak usah terlalu dipikirkan.” Ucap mas Hardja seolah mengetahui tentang pikiran ku yang berkecamuk.
Entah berapa jam aku melewatkan perjalanan, aku terbangun saat mobil telah memasuki pelataran sebuah rumah berdinding beton, halamannya luas dengan berbagai jenis bunga.
Harum dari bunga-bunga itu bahkan sudah tercium saat mobil kami berbelok. Kesan yang pertama kali aku tangkap adalah perasaan tenang. Rumah ini terasa familiar padahal ini adalah pertama kalinya aku kesini.
Aku baru keluar dari mobil saat barang-barang telah diturunkan dan dibawa ke teras rumah. Rumah tampak lengang. Tak ada siapapun yang menyambut kami.
“Mungkin ibuk istirahat didalam. Kamu masuk saja duluan.” Ucap mas Hardja lalu berbalik untuk mengangkat barang bawaan kami.
Ku putar knop pintu, lalu masuk perlahan ke dalam rumah. Ku letakkan tas jinjing ku di meja. Lalu melangkah untuk melihat berbagai pigura yang berada di dinding, ada berbagai foto, saat aku tiba di foto keluarga lengkap mas Hardja, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam kamar tepat di samping ku. Mas Hardja pun tergopoh masuk ke dalam rumah.
“Dik, ibuk kenapa?” tanya mas Hardja panik.
“Aku juga ndak tahu mas.” Jawab ku sama paniknya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada ibu mertua ku hingga ia berteriak begitu kencang hingga meraung-raung.
Masih terdengar teriakan ibuk dari dalam kamar. Mas Hardja lalu mengetuk pintu kamar untuk membujuk ibuk keluar. Entah berapa kali mas Hardja membujuk, barulah ibuk mau keluar.
Saat pintu kamar terbuka, tampak seorang wanita paruh baya, pipinya cekung, bajunyan ampak lusuh, matanya sembab dan bibirnya nampak pucat. Ia menatap ku sebentar. Sorot matanya tajam saat memandang ku. Mas Hardja sepertinya menyadari bahwa aku tampak tak nyaman. Ia lalu menyuruh ku untuk membuatkan ibuk teh. Walaupun aku bingung dimana letak dapur dirumah ini, ku sanggupi perintah mas Hardja karena sungguh tidak nyaman dipandang seperti itu oleh ibu mertua, terlebih ini adalah pertemuan pertama ku. Karena seingatku hanya saudara mas Hardja yang hadir saat pernikahan ku.
Aku kembali dengan membawa dua gelas teh, ku hidangkan untuk ibuk juga mas Hardja.
Ibuk tampak sudah lebih tenang. Aku baru akan duduk saat mas Hardja meminta ku untuk menunggu di luar. Ku angguki ucapannya lalu menunggu di teras rumah.
Tak berselang lama, mas Hardja menghampiri ku. Ia menyampaikan permintaan maafnya atas perlakuan yang aku terima dihari pertama ku ada disini. Ia juga menyampaikan bahwa alasan perlakuan ibuk karena ibuk masih belum terima kalau harus ditinggal lagi oleh anak-anaknya yang lain. Ibuk ingin Mas Sabda dan Mbak Ratih berada dirumah lebih lama, namun mereka memilih untuk segera kembali ke Kota karena tuntutan pekerjaan. Aku memaklumi hal itu. Ibu mana yang ingin segera berpisah dengan anaknya? Ya, mungkin ibu ku termasuk
dalam pengecualian untuk hal ini.
Bahkan setelah kejadian tadi sore, ibuk sama sekali tidak keluar kamar. Bahkan untuk sekadar makan, mas Hardja lah yang mengantarkan makanan itu ke dalam kamar.
Menjelang tidur, mas Hardja menyampaikan bahwa esok ia harus kembali bekerja. Sudah cukup waktu libur yang mas Hardja ambil. Besok pagi-pagi mas Hardja harus ke Pelabuhan karena Kapal harus sudah berlayar untuk membawa penumpang.
Keesokan paginya, setelah aku pulang dari mengantarkan mas Hardja ke Pelabuhan, ku dapati ibuk di pinggir jalan dengan pakaian compang-camping, menggunakan berbagai hiasan yang terbuat dari tanaman rambat. Ia duduk sembari berusaha berbicara dengan batu,
rumput, atau pun pagar. Aku sangat terkejut hingga aku hanya terus memperhatikan apa yang ibuk lakukan tanpa melakukan apapun. Masih dalam keadaan terkejut, seseorang menepuk pundak ku. Seorang ibu dengan seorang anak kecil digendongan mengagetkan ku. Aku bahkan tidak sadar sejak kapan ia ada disini.
“Kamu istrinya Hardja kan?” wajahnya tampak menyelidik.
“Iya bu.” jawab ku ragu-ragu.
“Itu mertua mu kenapa? Kenapa jadi kayak orang sinting begitu?” ucapnya sembari menunjuk ibuk yang sedang tertawa sembari berusaha berbicara dengan tumpukan batu.
“Ndak tahu bu. Saya baru pulang dari Pelabuhan waktu lihat ibuk sudah disitu.” Aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi dengan ibuk.
Saat aku akan mendekati ibuk untuk ku ajak pulang, mendadak ibuk beranjak lalu berlari mengejar pengendara motor yang sedang melintas. Aku pun tergopoh untuk mengejar ibuk. Aku bahkan melupakan motor yang tadi aku bawa karena aku begitu panik mengejar ibuk.
Beruntung ada dua pemuda yang ikut membantu ku untuk mengejar ibuk. Mereka pun mengantar ibuk kerumah. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap ibuk selain menutup semua pintu dan jendela agar ibuk tidak berusaha kabur dari rumah.
Saat semua pintu dan jendela sudah tertutup, aku mendapati ibuk sedang duduk diruang tamu.
Entah hanya perasaan ku saja, atau memang ibuk tampak baik-baik saja saat ini. Jauh berbeda dengan yang aku lihat tadi saat dijalan.
“Iyam, tolong siapkan air hangat. Ibuk mau mandi.” ucap ibuk sembari berlalu melewati ku untuk masuk ke dalam kamarnya. Aku tertegun. Melihat begitu cepat perubahan yang terjadi pada ibuk.
Hingga malam saat aku menghidangkan makanan, ibuk masih tampak normal. Tak ada satu pun tindakannya yang aneh. Setelah makan malam pun ibuk langsung beranjak untuk tidur.
Aku pikir ibuk sudah kembali normal, rupanya dugaan ku salah. Pagi saat aku bangun untuk memasak, ku dapati pintu sudah terbuka dan ibuk tidak ada dikamarnya. Aku mencari ke rumah-rumah dan menanyakan ibuk ke warga sekitar. Namun tak ada yang melihat ibuk.
Sampai siang aku mencari namun tak juga ku temui ibuk. Aku hanya istirahat untuk minum dan makan sepotong kue pemberian warga yang turut membantu ku saat mencari ibuk. Nanti pada sore hari, saat aku sedang kebingungan bagaimana caranya menghubungi mas Hardja saat di Laut pastinya tak ada jaringan, barulah ibuk datang dengan di bawa oleh dua bapak-bapak.
Dan lagi, sesuai dengan dugaan ku. Setelah bapak-bapak yang mengantar ibuk pulang, sikap ibuk sudah kembali seperti normal seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan ibuk kembali meminta kepada ku agar menyapkan air untuk mandi.
Saat aku berusaha untuk menanyakan hal ini kepada ibuk, beliau sama sekali tidak menjawab pertanyaan ku dan justru masuk lalu mengunci pintu kamarnya.
Hal ini berlangsung terus menerus. Setiap pagi ibuk akan pergi dan kembali diantarkan oleh warga pada sore hari. Awalnya aku akan berusaha mencari ibuk, namun sudah dua hari ini aku tidak melakukan itu. Aku terlalu lelah untuk melakukan itu, dan terlalu bingung harus
bercerita hal ini kepada siapa. Nomor mas Hardja tidak bisa dihubungi. Uang belanja yang diberikan mas Hardja sudah hampir habis. Aku mendapat tawaran untuk bekerja sebagai penjaga anak dirumah salah seorang tetangga, namun tawaran itu belum juga ku sanggup karena aku masih memikirkan bagaimana keadaan ibuk bila harus ku tinggal bekerja.
Semakin hari, ibuk semakin meresahkan warga. Puncaknya adalah ketika ketua RT datang untuk menyampaikan kesepakatan warga bahwa ibuk harus di pasung. Hal ini tidak lain karena ibuk sudah mulai mengganggu ketentraman warga lain. Aku bingung bagaimana harus menghadapi ini. Aku tidak membayangkan bagaimana perasaan mas Hardja ketika mengetahui bahwa ibuk akan di pasung.
Aku sudah mencoba menghubungi mas Hardja, namun tetap saja nomornya tidak bisa dihubungi. Aku lalu mencoba menghubungi mbak Ratih, sebab hanya ada kontaknya ditelepon yang mas Hardja berikan kepada ku. Namun reaksinya seolah tidak peduli. Ia bahkan
meminta ku mengurus hal itu sendiri. Aku benar-benar tak habis pikir. Bagaimana ia bisa setenang itu saat mengetahui keadaan ibunya.
“Mbak, ibuk itu sudah dianggap meresahkan warga. Ibuk sudah mau di pasung mbak. Mbak masa tega ngeliat ibuk mbak sendiri di pasung?” tanpa ku sadari suara ku meninggi.
“Biar Hardja yang mengurus ibuk.” jawab mbak Ratih tanpa beban.
Mengingat mas Hardja yang hilang kabar hampir dua minggu ini, dan bagaimana usaha ku untuk tetap tenang dalam keadaan khawatir dengan keadaan mas Hardja membuat emosi ku memuncak.
“Terserah mbak! Saya nggak peduli kalau ibuk harus di pasung! Saya - ..” belum selesai aku berbicara, ku lihat ibu tepat berdiri tak jauh dariku. Tatapannya kosong saat menatapku. Saat akan ku hampiri, ibuk sudah lebih dulu masuk dan mengunci kamarnya. Bibirku kelu bahkan
untuk sekadar mengucapkan maaf karena aku yakin, perkataan ku tadi sudah menyakitinya.
Hari-hari berikutnya, ibuk hanya berdiam diri dirumah. Kesehatannya menurun. Seringkali makanan yang aku hidangkan kembai masih dalam keadaan utuh. Ibuk sering batuk-batuk parah ditengah malam, ibuk makin kurus tiap harinya.
Aku masih terus mencoba untuk menghubungi mas Hardja, terhitung sudah sebulan dan belum ada kabar sama sekali. Aku sudah berusaha menanyakannya ke kawan-kawan di
Pelabuhan, namun sebagian besar dari mereka hanya menjawab mungkin masih menunggu penumpang, atau bahkan sebagian yang lain tidak mengetahui keberadaan mas Hardja dan kapal yang membawanya.
Aku harus membagi waktu antara mengurus ibuk dan bekerja. Setidaknya dengan bekerja sebagai pengasuh anak, yang uangnya seringkali ku mintai dua hari sekali, aku bisa memenuhi kebutuhan untuk makan saat uang yang diberikan mas Hardja telah habis tak bersisa.
Namun seolah tak ada kesempatan untuk menimati ketenangan, keadaan ibuk semakin memburuk. Aku mulai kesusahan untuk menyeimbangkan antara bekerja dan mengurus ibuk.
Aku bahkan sudah tidak sempat untuk mengurus diriku sendiri. Badan ku semakin kurus, wajah ku makin kusam, bahkan lingkar hitam tak pernah absen menghiasi mata ku.
Aku terus mencoba menghubungi mbak Ratih, aku meminta agar ia menyempatkan waktu untuk pulang barangkali sekadar menjenguk ibuk. Berkali-kali ibuk mengigau dengan memanggil nama anak-anaknya. Aku bahkan meminta kontak mas Sabda dari mbak Ratih lalu menghubunginya, namun tetap saja. Tak ada satu pun dari mereka yang pulang untuk menemui ibuk.
Puncaknya adalah ketika ibuk harus dibawa ke rumah sakit karena sempat tidak sadarkan diri.
Aku pun harus meminta tolong kepada tetangga untuk mengantar ibuk ke rumah sakit karena keadaan ku yang sudah tidak tidur berhari-hari sebelumnya untuk menjaga ibuk. Rasanya aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Karena dalam keadaan seperti ini, tak ada yang bisa ku hubungi.
Entah pikiran dari mana, aku memberanikan diri untuk kembali menghubungi mbak Ratih.
“Mba, barangkali ini yang terakhir kalo saya mengabari mbak. Ibuk sudah mau mati. Saya capek mengurus ibuk. Terserah mbak mau pulang atau tidak.” Ucapku lalu bergegas mengakhiri panggilan.
Setelahnya, baik mbak Ratih atau pun mas Sabda terus menghubungiku namun panggilan itu sama sekali tidak ku tanggapi. Aku sudah terlalu lelah untuk ikut campur dengan permasalahan keluarga ini. Keluarga orang lain yang sayangnya sekarang harus menjadi
keluarga ku.
Tak berselang lama, dua buah pesan masuk secara bersamaan. Pesan pertama dari mba Ratih yang mengabarkan bahwa ia dan mas Sabda akan pulang untuk menjenguk ibuk besok pagi, dan pesan kedua dari tetangga samping rumah yang mengabarkan bahwa, ibuk sudah meninggal dan sekarang sedang diperjalanan pulang. Pikiran ku kosong. Aku masih mencoba untuk mencerna pesan yang baru ku baca. Berulang kali ku baca, dan isinya sama. Mbak Ratih dan mas Sabda mau pulang, tapi ibuk sudah meninggal.
Aku masih terus memikirkan hal ini, bahkan ketika pada akhirnya ibuk di kubur, mas Hardja tetap tidak ada kabar, sedang aku sama sekali tidak melihat raut sedih di wajah mbak Ratih ataupun mas Sabda. Begitupun di wajah ku sendiri. Tak ada dari kami bertiga yang keberatan
untuk melepas ibuk pergi. Dan rasanya, aku tidak perlu menyumpah serapahi keluarga ku yang terlihat bahagia ketika aku akan pergi, karena kini aku pun merasakannya. Aku bahagia ibuk sudah tidak disini. Satu beban telah pergi.