Sejak tengkar yang terakhir kalinya.
Aku mulai terbiasa menyisihkan sosok ia untuk tiap rencana.
Aku menangisi dan memaafkan diriku sendiri berulang kali.
Agak narsis, tapi aku kerap kali menangis sembari berkaca.
Lalu menyadari bahwa tangan ku sendiri lah yang tak pernah lelah menghapus air mata ku.
Tidak ada siapapun disana.
Hanya aku dan diriku sendiri.
Lantas, aku tersadarkan.
Bukankah ia satu-satunya yang layak aku cintai?
Diriku.