oranment
play icon
Pringgan
Cerpen
Kutipan Cerpen Pringgan
Karya pristikhayali
Baca selengkapnya di Penakota.id

 


Tanah-tanah persawahan menunduk lesu


bosan..


Mengharap janji-janji semu awan putih yang semakin congkak


Tak iba walau ribuan mata kering tiap pagi mendongak


(Potongan puisi Langgam Kemarau - Joko Prasetyo)


 


Kembali lah.


Hiduplah dengan damai diharibaan ibu pertiwi.


Butir-butir padi.


Batang-batangmu telah usang, dibakar habis oleh keengganan dalam merawat mu.


Kembali lah.


Butir-butir padi, ke haribaan ibu pertiwi.


(Butir padi - Dhea Septi Alisa)


 


 


 


Sinar sang surya menyeruak lewat celah jendela kamarku. Disinarinya papan yang sudah lapuk, habis dimakan rayap sejak dua tahun yang lalu, belum juga mampu ku ganti. Aku masih berbaring diatas dipan, sesekali mendongak memperhatikan atap rumbia yang mulai terkoyak diterpa angin.


Tak ada lagi bahan makanan yang tersisa. Singkong yang diberikan pak Haji dua hari yang lalu sudah habis semalam.


Ku sibak selimut lalu beranjak menuju Padusan sumur sudah kering, ku basuh wajahku perlahan dengan air dari bak yang sudah berlumut, tak bisa mandi. Tak cukup air untuk membasahi seluruh tubuhku.


 


Aku menatap pantulan wajah didepan kaca lemari yang sudah keropos di kanan kirinya. Sesekali aku akan bertanya:


 


"Benarkah yang ada didalam sana, yang sedang ditampilkan wajahnya oleh sang kaca, yang sedang ku tatap dengan rasa tak percaya adalah wujud ku?"


 


Wajah itu tampak kuyu, dengan lingkar hitam mengelilingi mata. Pipinya cekung dengan tulang yang tampak mencuat. Belum lagi bajunya yang kumal. Seingatku dulu baju itu berwarna putih. Sekarang warnanya akan lebih tepat disebut coklat. Aku sempat jijik melihatnya. Namun lagi-lagi aku disadarkan oleh kenyataan bahwa sosok itu, tak lain adalah aku.


 


Aku berjalan gontai, menyusuri jalanan yang becek sisa hujan kemarin sore. Melewati jalan setapak, pematang sawah, lalu tiba ditempat tujuan ku.


Aku menatap nanar kearah sawah yang kini tampak tak lebih baik dari sabana. Tak ada padi yang menguning, tak ada petani yang berlalu lalang, tak ada anak kecil yang berlarian diantara pematang. Tak ada apa-apa selain padang luas dengan rumput setinggi dada yang mulai menguning. Ini bukan gulma yang sesekali tumbuh diantara batang padi, ini memang rumput yang sengaja dibiarkan tumbuh. Ah, ada apa dengan sawah desaku?


 


Dan lagi, di kejauhan samar-samar ku dengar deru mobil bersahut-sahutan. Aku makin bingung dibuatnya. Seingatku, tidak ada mobil yang datang ke desa kecuali bila musim panen tiba. Mobil-mobil dari kota akan datang untuk mengangkut beras dari para petani. Juga, kenapa banyak sekali pemuda berlarian?


 


"Kang, ini ada apa? Kok banyak sekali mobil. Ini juga, kenapa banyak sekali tas-tas?" tanyaku sembari menunjuk jejeran tas yang teronggok ditepi jalan.


 


"Lho, kamu ndak tau to Mus? Ini mobil proyek untuk ngangkut kuli. Pemuda disini pada mau kerja di Kota. Kamu tau sendirikan ekonomi disini kaya apa? Mereka bosan terus-terusan disini. Kalau kamu mau ikutan berangkat, hubungi saja mas Mulyadi. Dia pasti mau bantu kamu cari kerjaan di kota. Sudah ya, mobilnya sudah mau berangkat." ucapnya sembari mengemasi tas kemudian ikut masuk kedalam mobil.


 


Perlahan mobil melaju, menyusuri jalanan desa ditemani suara riuh rendah dari anggota keluarga yang ikut melepaskan mereka untuk bekerja di kota. Mencoba mencari peruntungan.


 


Aku beringsut menjauh, sebelum sebuah tepukan mendarat dipundakku dibarengi suara khas yang aku kenal betul. Supardi.


 


"Weh Mus. Kamu ndak ikut to ke Kota? Disana kayanya kerjaannya lebih menjanjikan. Nanti bulan Juli, empat bulan dari sekarang aku juga mau nyusul kesana. Kamu mau ikut?"


 


"Ndak, sama-sama kerja. Aku mending disini saja."


 


"Kamu masih mau kerja sama pak Haji?"


 


"Iyalah, mau dimana lagi?"


 


"Kalau menurut prinsipmu sama-sama kerja mending di desa, beda lagi dengan prinsipku. Sama-sama kerja mending di kota. Petani disini pasti butuh waktu lama sampai sawahnya bisa ditanami lagi. Kamu liat disana itu.." ucapnya sembari menunjuk jauh dibawah kaki gunung, tempat beberapa orang sedang bekerja dengan seragam berwarna sama.


 


"Ada perbaikan waduk utama, juga beberapa drainase yang mengalir ke desa sini, juga desa tetangga. Perbaikannya pasti butuh waktu agak lama, paling ndak ya dua tiga bulan. Sampe nunggu itu selesai, petani disini nggak mungkin enggak makan kan? Kamu pasti tau musim kemarin gagal panen, petani pada bangkrut. Jangankan buat nyawah lagi, buat bayar utang obat sama dimakan sehari-hari aja susah. Sudahlah, terserah kalo kamu mau tetap di desa, tapi kalau sewaktu-waktu kamu mau ikut sebelum aku berangkat ke Kota, kamu bilang saja ke aku." sambungnya.


 


Ku angguki ucapannya sembari berlalu. Tujuanku sekarang hanyalah rumah pak Haji. Aku harus bekerja. Ucapku dalam hati.


 


 


 


Tiga bulan berlalu, pengerjaan waduk sudah rampung, juga saluran air mulai beroperasi, beberapa petani mulai mengaliri sawahnya. Desa tampak sangat sepi tiga bulan ini semenjak beberapa pemuda desa memilih untuk bekerja di kota. Memang, kebanyakan pemuda disini bekerja sebagai petani. Mengurus sawah milik keluarga, namun ada beberapa juga yang menyewa sawah untuk digarap.


Berbeda dari sawah para petani lain, sawah pak Haji tampak belum dialiri air barang sedikit pun. Aneh, biasanya sawah pak Haji adalah sawah yang paling cepat pengerjaannya. Belum sempat aku menerka, terdengar panggilan pak Haji di kejauhan.


 


"Mus..." teriak pak Haji sembari melambai-lambaikan tangannya.


Aku tergopoh menuju kearah pak Haji.


 


"Nggih, pak Haji." jawabku sopan begitu sudah sampai dihadapan pak Haji.


 


"Mus, sawahnya jangan dulu di airi ya."


 


"Lho kenapa pak Haji?" ucapku bertanya-tanya.


 


"Ayo ikut, saya jelaskan dirumah." ucap pak Haji sembari berjalan menjauh.


 


Sepanjang jalan menuju ke rumah pak Haji entah kenapa perasaanku tidak nyaman, seperti hal yang akan dikatakan pak Haji nanti bukan sesuatu yang baik. Namun segera saja ku hapus bayang-bayang pemikiran itu.


 


 


Aku datang sedikit dibelakang pak Haji, sepertinya pak Haji sudah sampai sedari tadi, tampak pak Haji yang sudah duduk di Beranda.


 


"Duduk disini mus." ucap pak Haji sembari menunjuk sebuah kursi.


 


Sekarang aku sudah duduk dihadapan pak Haji, wajah beliau tampak kalut. Sepertinya benar dugaan ku, bukan berita baik yang akan ku dengar.


 


"Mus, maaf sebelumnya.." ucap pak Haji kemudian diam sejenak.


Perasaan kalut pun kini melingkupi ku.


 


"Ini gajimu bulan ini. Ditambah dengan pesangon." sambung pak Haji.


 


"Pesangon? Pesangon buat apa pak?" tanyaku bingung.


 


Memang, pak Haji orang yang baik. Dulu, kedua orang tuaku pun bekerja untuk pak Haji sedari aku masih kecil hingga aku beranjak dewasa. Dan pada saat kedua orang tuaku di Panggil Yang Maha Kuasa, pak Haji dengan baik hati mengijinkan aku untuk bekerja kepada Beliau, gaji yang diberikan cukup besar, dan sesekali apabila panen raya tiba maka akan ada uang tambahan. Tapi beliau tidak pernah sekalipun menyebut itu sebagai pesangon seperti hari ini.


 


"Pesangon, cukup buat tambahan uang saku barangkali kamu mau ikut ke kota seperti pemuda lainnya."


 


"Saya tetap mau bekerja sama pak Haji."


 


"Saya juga maunya begitu. Tapi kamu tau sendiri anak saya itu ndak mau jadi petani. Dia lebih milih kerja di kota. Tapi dia ndak tega ninggalin saya disini, jadi sawah sama kebun saya disini rencananya mau saya jual, saya mau ikut anak saya pindah ke kota. Kamu rajin, jujur dan bertanggung jawab kalau bekerja. Kamu pasti mudah dipercaya orang kalau mau bekerja. Maaf ya Mus, sebenarnya bapak juga ndak enak tapi mau gimana lagi."


 


Aku bisa melihat kalau pak Haji sebenarnya merasa tidak enak hati, tapi aku pun paham. Anak-anak pak Haji sangat menyayangi beliau, membiarkan pak Haji tetap di desa dengan bekerja menggarap sawah, walaupun hanya mengeceknya sesekali tentu tetaplah melelahkan di usianya yang sudah senja, apalagi setelah kepergian mendiang istrinya setahun yang lalu, dan juga jauh dari anak cucu, pastilah cukup membuat beliau merasa kesepian. Aku sendiri pun sudah sering merasakan kesepian itu semenjak kepergian kedua orang tuaku. Pak Haji orang baik, tentu aku tidak akan sampai hati membuat beliau pun merasa tidak enak hati kepadaku.


 


"Ndak apa-apa pak Haji. Sudah benar keputusan pak Haji untuk tinggal di kota, anak cucu pak Haji pasti mengharapkan bapak disana. Terima kasih untuk kepercayaan bapak selama ini, juga uang pesangon yang bapak kasih ini, akan saya gunakan sebaik-baiknya" ucapku yang kemudian dibalas dengan anggukan serta senyuman.


 


 


Aku kembali menyusuri jalanan desa, ku pandangi hamparan sawah yang luas sejauh mata memandang. Begitu indahnya Anugerah Tuhan lewat tiap petakannya. Lewat tiap batangnya yang kemudian tumbuh butir-butir padi. Merawatnya dengan penuh kasih. Tumbuh dengan baik, kemudian dipanen dengan suka cita. Apakah segala kebahagiaan yang ditunjukkan oleh sang Alam belum mampu untuk menahan manusia agar tetap mau merawatnya? Apakah mereka malu menjadi orang yang dipercaya untuk menjadi penjaga dan pemelihara sawah-sawah yang kemudian disebut petani? Apakah mereka malu dengan sebutan itu? Bukankah mereka orang-orang Kota pun makan dari hasil keringat juga kasih sayang petani kepada sang padi yang menjadikannya beras?


 


Tanah milik pak haji sudah terjual, dibeli oleh salah seorang pengusaha Kaya di Kota. Sebagian sawah disini pun bukan milik petani sendiri, melainkan milik Ketua Jawatan yang bekerja dikota, yang kemudian hasilnya akan dibagi. Bila sawah pak Haji kini milik Pengusaha, bila sebagian besar sawah bukan milik petani sendiri melainkan milik kaum Kapitalis, bukankah mereka juga sebenarnya layak disebut petani? Petani yang sedang menyamarkan diri, Petani yang enggan disebut petani.


 


Aku lahir dan dibesarkan di sebuah bangsa yang besar, yang bersemboyan kan negeri yang gemah ripah loh jinawi. Tersohor akan kekayaan alam serta subur tanahnya. Juga dibarengi masyarakatnya yang memiliki gengsi tinggi. Bila hari ini, banyak petani yang enggan menjadi petani. Sedang aku sendiri tak punya cukup uang untuk membeli barangkali sebidang tanah yang bisa kutanami, yang menjadikan ku layak untuk disebut petani. Lalu bagaimana aku menjelaskan pada anak cucu ku nanti bila mereka bertanya siapa itu petani?


Beginikah jawabanku nanti;


"Petani adalah seseorang atau sekelompok orang yang menanam dan merawat padi untuk menghidupi negeri, yang sudah punah jauh-jauh hari jauh sebelum engkau dilahirkan dimuka bumi."???


Aku tidak memiliki sawah untuk digarap. Tuanku sudah menjual tanahnya, berbekal pesangon yang diberikannya, aku pergi ke Kota. Melihat keadaan desa membuatku marah namun tak bisa berkata-kata. Biarlah aku mati disana, mati bersama orang-orang yang menggantungkan hidup pada butir padi yang ditanam oleh para petani yang akan mati tak lama lagi.

calendar
12 Jul 2019 13:26
view
472
wisataliterasi
Jl. Sriwijaya No.19, Birobuli Utara, Palu Sel., Kota Palu, Sulawesi Tengah 94111, Indonesia
idle liked
8 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig