Hari sudah beranjak petang, ketika perlahan ku pacu sepeda motorku. Keluar dari halaman kantor, tengok kanan tengok kiri lalu melaju.
Ku lirik arloji ku, waktu sudah menunjukkan pukul 17.59 ketika aku masih harus berjubel dengan pengendara lain.
Lampu merah, macet, klakson dan asap kendaraan serta sampah yang teronggok dipinggir jalan selalu menjadi hal paling menyebalkan yang harus terpaksa ditelan setiap hari. Tapi sesekali aku pun menyempatkan diri untuk berusaha menikmati, contohnya dengan melihat kepala orang-orang yang terbungkus helm yang bermandikan sorotan cahaya kendaraan lain, lalu aku akan membayangkan kepala-kepala itu adalah lautan Lollipop yang ingin ku telan saat ini juga. Atau sisa parfum tadi pagi di jaket atau kemeja pria kantoran yang tidak sengaja bersebelahan denganku, atau kalau beruntung, aku bisa mendapat bonus senyumannya. Tapi rata-rata senyum mereka sama. Atau malah, senyum kita semua yang sementara berhenti di depan lampu merah ini sama; sama-sama lelah, jenuh, bosan, dan marah.
Ya. Mungkin marah. Kenapa harus terjebak pada keadaan yang murah namun melelahkan. Aku rasa aku yang berhak paling marah. Bagaimana tidak? Gaji yang ku terima terlalu murah untuk pekerjaan yang membuang banyak waktu. Bukankah time is money?
Biasanya, ketika aku mulai merutuki pekerjaan yang ku lakoni saat ini, aku berusaha mengingat perkataan Billy, salah seorang tokoh di Komik Solanin, katanya;
"Ada banyak orang yang tidak bisa memilih-milih pekerjaan untuk hidup. Tapi mungkin itu masih lebih baik daripada jadi pengangguran karena memasang idealisme terlalu tinggi."
Dan sekali lagi berusaha untuk menerima keadaan saat ini, kadang merasa tidak terima, baca lagi, lalu belajar menerima lagi.
Bukankah segala yang kita lalui adalah proses belajar?
Ya. Proses pendewasaan. Belajar dewasa untuk setidaknya berpikir tidak merepotkan orang lain secara berlebihan. Bagaimana pun, merepotkan orang lain adalah kodrat manusia. Sesekali aku perlu merepotkan orang agar aku masih layak disebut manusia, sebab makin kesini makin banyak orang yang mencap aku sebagai sampah. Sampah masyarakat.
Sampah masyarakat, sampah masyarakat, sampah masyarakat.
Seingatku, se masa aku sekolah dulu, kawan-kawanku hanya menyebutku, Tukang Cenil, Tukang Abu Gosok, atau Sumarni Babon saja. Belum pernah salah seorang dari mereka menyebutku sampah masyarakat, em, atau memang itu adalah julukan baru yang selalu di berikan kepada Tamatan SMA yang belum dapat kerja?
"Oh, berarti itu julukan bertingkat Sum." ucap Saripeh ketika aku mengajaknya berdiskusi sebelum keberangkatanku ke Kota.
Dia ini yang paling tua seangkatan ku. 3 kali tidak naik kelas. Katanya bu Guru terlalu sayang sama dia. Salut aku.
"Julukan bertingkat gimana peh?"
"Kan waktu SD kamu di juluki Tukang Cenil, itu pasti karena mamakmu tukang jualan cenil. Nah pas SMP Tukang Abu Gosok karena mamakmu ganti profesi jadi tukang abu gosok. Nah pas SMA kan mamak mu pengangguran, jadinya julukanmu itu dirimu sendiri. Sesuatu yang pas dengan kamu. Badanmu kan gede kaya Babon, jadi Sumarni Babon."
"Terus lulus SMA kok jadi Sampah Masyarakat julukannya?" potongku tak sabar.
"Heish. Sabar to. Napas dulu aku. Nah, pas lulus SMA, kamu dijuluki Sampah Masyarakat, karena setelah lulus SMA, kan kamu harus turun di Masyarakat, dan kenapa Sampah, karena sampah itu dekat dengan masyarakat sekarang."
"Dekat bagaimana maksudmu?"
"Ya dekat. Di depan rumahnya ada sampah, tiap hari ngasilin sampah. Sampek omongannya aja kayak sampah. Jadi ya menurutku emang kaya gitu tahapan julukannya Sum."
"Oh, gitu. Kalau aku nanti dapat kerja, julukanku kira-kira apa peh?"
"Lho, yaa harus yang lebih di atas nya sampah."
"Emang apa yang diatasnya sampah?"
"Limbah. Kamu Limbah Masyarakat."
Terkadang aku bertanya-tanya juga, apakah aku benar-benar menjadi Limbah Masyarakat seperti kata Ipeh?
Saripeh sekarang sudah punya anak tiga. Laju dia. Kadang rindu juga.
Biasanya, kalau mengingat 'diskusi' itu, aku akan kesal. Tapi kali ini rasanya aku hanya ingin ketawa saja. Aku masih tertawa cekikikan ketika sebuah tepukan mendarat di pundak ku, lalu dibarengi sebuah suara;
"Mba, jangan melamun. Sudah lampu hijau." ucap seorang pria lalu tersenyum singkat sebelum kembali melaju dengan Scooternya.