"Allahuakbar... Allahuakbar..." Azdan menuju magrib dikumandangkan, selaras dengan jeritan kecil. Ia terlahir, sebuah luka.
Lima belas menit, dua puluh menit, hingga pada jarum panjang menuju titik akhirnya, tak sepasang mata datang pada sebuah kelahiran.
Perayaan kecil itu hanya sebatas menunaikan ibadah, dua tangan yang dirapal, dan satu buah pesan dengan 'semoga' sebagai pembuka.
Ia terlahir dengan mapan, dan merah sempurna.
Pada adzan kedua, seorang laki-laki paruh baya datang, menghadiahkannya sebuah jam tangan berwarna perak kusam.
Perayaan itu mendadak menjadi riuh, dari balik tirai, seorang perempuan dengan brokat ungu dan kain batik cokelat berjalan keluar terheran-heran.
"Anakku hanya sebuah luka." tukasnya.
Sebab itu tak ada lagi gemuruh pada pesta kelahiran. Semua hadirin (yang hanya seorang laki-laki paruh baya) pulang.
Di malam penuh sukacita, sanak saudara tetangganya berkumpul menyalakan kembang api. Hari yang suci, hari yang penuh dengan pesan-pesan kemenangan.
Bagi perempuan itu, hari raya hanya perihal memasang bendera putih di sudut rumah.
Sebelum anak itu tumbuh dan memerah menahun, akhirnya ia terpaksa harus 'dibunuh' untuk sebuah perayaan lain, dengan bunga, dengan satu surat. "Yā sīn..."