Mungkin saja jika bahagia dijual bebas di ruko-ruko pinggir jalan, dengan harga miring dibungkus seadanya
atau jika dijual di supermarket atau toko-toko online dibungkus sedemikian rupa agar terlihat ciamik,
pasti sedih tak punya rumah untuk berpulang, ia bisa saja menjadi gelandangan, tidur dijalanan berharap belas kasih pengendara motor atau pejalan kaki yang mungkin tak sudi memberinya sedikitpun.
Ia membawa anak-anak luka, menyusuinya dibawah terik matahari, menyuapinya dengan abu jalanan dan asap kendaraan,
sesekali ia berpuasa, berharap anak-anaknya menjadi kering dan segera pulang pada rumah-rumah yang hanya menerima bahagia.
Di dahinya, mendung-mendung bergerumul menghitam, di bahunya adalah pemungkiman makam-makan dengan deretan perasan-perasaan kelu yang dibuang tuannya. Ia seperti panti berjalan dua kaki menelusuri gang-gang sempit bau jamban. Sedangkan saudara kembarnya, hidup tenang ditimang-timang seperti anak semata wayang.
Jika bahagia dijual bebas, mungkin para Tuan tak akan bersimpuh diatas ranjang mengucap mantra-mantra memohon pada Tuhan.
Mungkin tak akan ada perayaan untuk setiap kehilangan, atau ribuan unggahan sajak sendu Sapardi Djoko Damono atau Aan Mansyur dengan backsound musik mellow, dan orang-orang tentunya akan memborong ribuan bahagia untuk berjaga-jaga atau dibagikan kepada sanak saudara agar matinya tak dalam kesenduan.
Sedih seperti anak tiri, ia tak pernah menerima perayaan, paling-paling hanya diberi jamuan segelas sepi lalu ia nikmati dan mati dalam sedihnya sendiri.