Berkat Roti
Cerpen
Kutipan Cerpen Berkat Roti
Karya putradimas
Baca selengkapnya di Penakota.id

Roti adalah kutukan realita yang pernah menimpa Joko. Mulanya Joko enggan melanjutkanusaha papinya itu. Ia bersikeras untuk menempuh jalan berbeda dari papi atau keluarganya--yang hampir semuanya adalah pengusaha kecil. Ingin berpetualang melihat dunia, begitu kata Joko dengan ketus saat diminta untuk meneruskan usaha roti papinya kelak. Tapi realita terlampau suka mengecoh. Usaha roti papi Joko hampir gulung tikar karena semakin banyak toko-toko roti yang tampil dengan tempat lebih megah, lampu lebih terang, varian lebih beragam, serta aromanya lebih mampu untuk memanggil-manggil calon pembeli. Dan salah satu toko roti itu berdiri tak jauh dekat dengan tempat usaha roti papi Joko berada. Sementara tempat usaha roti papi Joko berdiri hanya ruko kecil sewaan di dekat pasar yang tak disekat tembok atau pintu indah (sisa ruangnya sudah dipakai jadi dapur).  Melihat papinya yang jadi sering sakit-sakitan karena terlalu stress dan diserang khawatir tak berkesudahan, Joko merasa iba. Ia yang saat itu masih kuliah, terpaksa harus berhenti demi bisa mengucurkan keringatnya secara maksimal untuk membantu sang papi. Membuang mimpinya begitu saja secara sembarang, seperti membuang botol minuman plastik selepas habis membasuh tenggorokan. 


Usaha pertama yang Joko ingin lakukan adalah renovasi tokonya biar bisa bertanding dengan toko roti lain itu. Tapi papinya tak punya cukup biaya untuk renovasi toko. Selama beberapa hari, dari pagi sampai malam, Joko memikirkan berbagai cara untuk membangkitkan kembali toko roti papinya. Sayangnya, semua rencana terhadang modal yang kurang. Lalu entah petunjuk semesta atau cuma kebetulan, Joko melihat tukang roti keliling yang menggunakan sepeda saat sedang di rumah temannya. Terkaget-kaget ia menemukan hal langka itu. Siapa pula di era modern seperti sekarang masih ada yang pakai cara klasik untuk berjualan, repot-repot menggoes dan berteriak pula, begitu pikirnya. Tapi hal tersebut justru menumbuhkan ide di kepala Joko. Merombak mobil pribadi papinya untuk berjualan. Tak repot lah, ia bisa melakukan itu sendiri. Untuk biaya bensin yang dipakai berkeliling, Joko hanya berharap bahwa penjualan tiap harinya bisa mencukupi. Untuk pengemudinya? Joko sendiri lah yang akan berkeliling, jadi tak perlu repot keluar uang lagi untuk menggaji--lagipula tidak ada keuntungan yang bisa dipakai untuk menggaji juga. 


Setelah pulang dari rumah temannya, Joko dengan sumringah menyampaikan ide untuk berjualan roti dengan berkeliling. Mata papi Joko melongok ke atas dengan tangan kanan yang dijadikan sandaran untuk kepalanya. Tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke udara, seperti sedang menghitung di kalkulator. Joko hanya menatap gerak gerik papinya dengan cengo. Raut wajah papi Joko cerah bukan main ketika senyum terbentang, seakan sakit-sakit di tubuhnya telah dilepas. Papi Joko kemudian mengiyakan usul Joko--karena tak butuh uang terlampau banyak, katanya. Ia pun rela jika mobil satu-satunya itu dipakai untuk berjualan, toh biasanya mobil itu juga cuma dipakai untuk beli kebutuhan berjualan saja. 


 Mobil Zebra Espass perak itu dirombak sedemikian rupa. Jok depannya dibuat menjadi satu kursi panjang. Sementara jok-jok di belakang dibabat habis, menjadi ruang kosong tempat keranjang-keranjang merah berisikan ragam jenis roti siap santap. Di samping kemudi adalah tempat bagi laptop dan pengeras suara biasa duduk, bebunyian yang keluar adalah rekaman suara Joko yang dibuat sebagai penanda kalau yang sedang lewat itu jualan roti. Roti tawar putih dan gandum, roti coklat, roti kelapa, roti isi daging, dan lainnya akan jadi sahabat karib yang selalu menemani Joko berkeliling tiap sore hingga malam--sepanjang hari. 


Seluruh jiwa dan raganya sudah tercurah sepenuhnya untuk toko roti. Tiap pagi buta jika ada beberapa bahan yang kurang, Joko berangkat ke pasar. Setelah itu, ia membantu papi juga maminya untuk membuat roti (beberapa pegawai yang bantu buat roti di toko sudah dipecat dengan terpaksa). Kalau toko sudah buka, ia akan menjaga toko itu seorang saja sampai sore tiba. Barulah ia berkeliling ke komplek-komplek perumahan yang letaknya tak jauh-jauh amat dari toko rotinya--bahkan ke komplek tempat Joko dan keluarganya tinggal juga. Begitu saja terus berulang-ulang setiap harinya. Tidak pernah ada libur entah itu di Sabtu atau Minggu. Rencana untuk istirahat dari rutinitas sudah Joko dan papinya tentukan, yaitu saat Lebaran pertama tiga bulan lagi, dan saat Natal tiba. 

Di satu bulan pertama Joko begitu terlena karena idenya itu membuahkan hasil yang baik. Roti-rotinya selalu ludes terjual, paling hanya menyisakan satu atau tiga roti tawar saja. Bangga sekali ia akan dirinya itu. Mekar-mekar hidungnya saat papinya bilang kalau laba di bulan itu cukup besar, bisalah dipakai untuk bayar cicilan pinjaman yang sudah menunggak. Makin bersemangat lah Joko untuk tetap menjajakan rotinya dengan berkeliling. Semakin cepat kondisi toko roti papinya pulih dari keterpurukan, semakin cepat pula ia bisa memungut lagi mimpi yang sudah ia buang. 

 

Namun Themis sepertinya tidak pernah berada di sisi Joko. Selang tiga hari setelah senyum dan tawa berlimpahan di udara, papinya meninggal dunia sehabis selesai bermain bulu tangkis bersama teman-teman kompleknya. Kena serangan jantung kata dokter. Tidak adil kalau kata Joko melalui hatinya--entah kepada siapa. 


Saat di bulan kedua, lesu selalu membuntuti Joko ke mana pun ia berada. Joko jadi jarang tersenyum dan menyambut pelanggan rotinya dengan dingin setiap berkeliling. Beberapa pelanggan melayangkan protes karena tidak dilayani dengan senyum atau ucapan terima kasih saat menerima pembayaran. Bahkan beberapa kali Joko salah mengambil roti yang diminta. Protes itu kebanyakan bernada penuh benci, kasar pula. Namun Joko tak peduli, sudah tak ada lagi ruang di hatinya untuk menerima sayatan. 


Beberapa pelanggan lain justru merasa terenyuh melihat Joko yang masih muda juga tampan justru menghabiskan waktunya untuk berkeliling jualan roti--ditambah melihat mukanya yang melulu murung. Mungkin menurut mereka apa yang dilakukan Joko adalah pekerjaan yang sia-sia dan nihil harapan untuk punya gelimang harta. Sebab, Joko memang bisa saja menjadi pemuda sukses menurut definisi kebanyakan orang. Seperti kata salah satu pelanggan setianya selang dua minggu setelah kepergian papinya.


“Mas kenapa jadi tukang roti gini? Masnya ganteng lho, enggak mau kerja kantoran aja? Atau jadi bintang film gitu?” 


Pertanyaan serupa itu bukan hanya sekali terlontar, tapi sudah beberapa kali disodorkan kepada Joko, bahkan sebelum kelesuan menemani Joko. Joko pun tak pernah menjawab, ia selalu membalasnya dengan senyum saja. Karena percakapan seperti itu bagi Joko lebih menyakitkan daripada omelan pelanggan yang selalu ingin diperlakukan sebagai ratu atau raja. 


 Selama hari-hari muram itu, Joko pun tak terlalu sempat memikirkan nasibnya. Sudah habis semua waktunya untuk berjualan, berjualan, dan berjualan. Lamunan sebelum tidur pun tak pernah terjadi, sesampainya badan Joko yang kokoh itu di kasur, langsung lah dirinya ditarik cepat oleh bunga tidur. 


Kemuraman Joko mulai sirna saat hari Lebaran mendekat. Ia teringat kata papinya saat mereka sedang merencanakan hari libur. Papinya bilang, walaupun laba hasil jualan roti tak seberapa jangan sampai tidak berikan Tunjangan Hari Raya kepada para pegawai yang masih bekerja--meskipun jumlahnya tak banyak. Joko baru menyadari kalau papinya sudah berikan tanda kalau sang papi akan terbang ke langit selamanya. Joko mulai melakukan kalkulasi pendapatan yang ia raih. Dan tersenyumlah ia mendapati bahwa penghasilannya itu amat cukup untuk memberikan THR bagi pegawainya. Satu minggu menjelang Lebaran, Joko mengumpulkan pegawainya setelah ia selesai berkeliling juga saat toko sudah tutup. Ia bertutur panjang lebar seperti Pak RT yang berikan salam pembuka saat perayaan HUT RI, sebelum menutup dengan ucapan terima kasih yang mendalam kemudian membagikan THR. Hati Joko begitu berbunga melihat para pegawai yang tak henti-hentinya mengucapkan syukur juga terima kasih kepada Joko. Suka cita pun ikut berterbangan di toko kecil itu bersama oksigen, nitrogen, argon, karbon dioksida dan gas lainnya.


Sejak hari itu, tiada lagi kejenuhan hingga kegelisahan bertamu di hati Joko. Ia selalu membayangkan kebahagiaan yang ikut ia rasa ketika para pegawainya penuh rasa suka cita, pelanggannya menikmati lembutnya roti di lidah, dan papinya yang tersenyum manis entah di mana. Pernah suatu waktu, salah seorang pelanggannya bertanya kepada Joko, apakah tidak bosan menjalani hal seperti ini, pelanggan itu berpendapat bahwa Joko seharusnya bisa melakukan hal-hal lebih besar daripada jualan roti--ditambah berkeliling pula untuk menjualnya. Joko menjawab, “Saya sudah senang begini Mas, tak perlu cari yang lain-lain lagi. Semuanya sudah pas dan sempurna.” 


Aroma roti telah menjadi hirupan nafas terindah bagi Joko. Apalagi aroma yang menyerbak kala roti sedang mengembang--dipanggang saat pagi hari--sarapan terlezat tanpa perlu repot-repot mengunyah juga menelan. Hanya dengan mencium, lidah Joko sudah bisa berdansa-dansa riang berkat kelembutan adonan dari tepung, telur, dan susu serta letusan coklat yang meleleh dan melumuri ke penjuru lidah. Senyum bahagia dari pelanggannya pun selalu menyirami bunga-bunga jelita di hatinya. Hingga kini Joko pun tak menyangka, kutukan realita itu bisa mencipta Alhamdulilah yang selalu ia ucapkan selepas bangun dari tidurnya.

24 Oct 2020 14:18
51
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: