Kalah, Bukan Mengalah
Cerpen
Kutipan Cerpen Kalah, Bukan Mengalah
Karya putradimas
Baca selengkapnya di Penakota.id

“Boleh mama pinjam uang dulu, Nak? Mama mau pergi ke Bandung sama teman-teman mama. Nanti mama ganti, Insya Allah uang proyek mama turun hari Senin nanti.”

 

Mama tidak berkata langsung. Mama mengirimnya melalui pesan instan. Pintar betul penipuan yang sempat tren entahlah kapan itu, dengan mengatasnamakan seorang ibu, penipu-penipu itu mungkin kini sudah kaya raya, dan sedang memikirkan kreativitas seperti apalagi untuk bisa merauk uang dari menipu. Sialnya, tipuan mereka itu justru berhasil saat menyasar orang-orang senasib dengan para penipu; bukan para kapitalis bajingan di luar sana. Lagipula kapitalis itu adalah tuhan dari segala penipu. Berlebihankah? Coba pikir-pikir lagi.

 

Bicara apa aku, jadi ngawur. Ya, tapi tadi benar pesan instan yang dikirim oleh Mamaku sendiri, bukan kerjaan penipu. Pesan itu ditunjukkan oleh kakakku yang kesal karena terus dimintai uang. Ia juga mengirim pesan Mama tadi melalui pesan instan pula. Ah, sial betul, sudah sulitkah orang bicara langsung tatap muka ketika memang hendak bicarakan sesuatu? Entahlah—aku juga tidak peduli sebenarnya. Kembali lagi soal pesan instan Mama tadi, kakakku berceloteh panjang lebar sementar aku hanya membalas dengan dua kata yang aku ulang-ulang: “Sabar, Kak” & “Maklumin Mama aja.” Sementara saat kata kedua aku ulangi baru dua kali, ia membalas panjang dalam sekali kirim:

 

“Mau maklumin gimana? Dia sekarang masih kerja, dapat penghasilan yang lebih besar dari saya. Tinggal juga sendiri. Untuk apa lagi uangnya kalau bukan mengikuti pergaulan teman-temannya yang mewah itu? Saya ini merasa dilahirkan hanya untuk jadi pengeruk uang saja bagi mereka. Disekolahi tinggi-tinggi, berujung jadi mesin uang untuknya. Kalau begini lebih baik tak usah dilahirkan saja saya.”

 

“Tenang kakak pertama, aku pun juga merasa demikian. Aku berharap tak usah dilahirkan di dunia biru ini,” balasku dalam hati. Tentu saja aku tidak berkata demikian, justru aku kembali mengulang kata, “Sabar, Kak.” Setelah membalas panjang lebar seperi itu, ia tak lagi membalas pesanku. Mungkin lelah karena aku hanya membalas begitu-begitu saja.

 

Kondisi keuangan keluarga kami memang tak pernah membaik semenjak Mama dengan ide cemerlangnya memutuskan untuk mulai berbisnis di bidang properti rumah. Semenjak itu pula gaya hidupnya semakin meninggi. Maksudku semakin sering berpergian dengan teman-temannya di tempat mewah. Mewah bagiku itu adalah saat memesan teh hangat tawar saja harganya bisa di atas Rp 35.000,-. Maksudku teh macam apa itu, teh yang biasa aku minum saja sudah sangat enak dengan harga Rp 3.500,-. Dan yang paling penting: Teh harga murah itu sudah pakai gula, jadi manis. Ah aku melantur lagi, kenapa jadi bicara teh? Ya, jadi kondisi keuangan kami jauh berkurang karena keputusan Mama tadi. Kakakku yang baru memasuki dunia kerja pun dibuat kerepotan. Tak heran kalau ia kerjanya mengeluh terus. Uang hasil jerih payahnya tak bisa ia pakai untuk menabung ataupun bermain. Katanya, sudah habis hanya untuk berkegiatan sehari-hari di kantor seperti untuk ongkos transportasi, omakan, dan rokok--mungkin. Sedih sekali memang, sudah bekerja hanya bisa menghabiskan uang untuk bisa bekerja pula.

 

Tapi sebenarnya faktor utama kondisi keuangan keluarga kami tak pernah membaik tentu karena Ayah—namanya sudah tidak ada lagi di Kartu Keluarga kami. Kalau bisa melihat cinta paling tulus, aku hanya pernah melihat cinta paling tulus yang pernah diberikan oleh seseorang. Cinta tulus itu aku lihat dari sosok Ayah--terhadap uang tentunya. Aku tidak menahu jabatannya, yang aku tahu betul, orang-orang di kantor Ayah dan jabatannya setara dengan Ayah itu bisa menguliahkan anak-anaknya sampai ke luar negeri. Lalu tiap tahun juga pasti jalan-jalan keluar negeri. Tapi bagaimana dengan Ayahku? Sekalinya aku dibayari pergi oleh Ayahku adalah ketika Ayah kena serangan jantung di Bali dan butuh tanda tangan anaknya untuk bisa melakukan operasi. Kakakku menolak untuk berangkat, sebab ia benci dengan tulus kepada Ayah. Jadilah aku pergi ke Bali waktu itu. Menyenangkan juga. Hanya bertemu dengan Ayah satu kali, tanda tangan untuk operasi, dua hari sisanya aku berlibur. Tapi maksudku, bukan aku iri dengan anak-anak lain yang orangtuanya bekerja di kantor sama dengan Ayahku karena mereka bisa keluar negeri untuk bersekolah atau berlibur. Lagipula, lebih seru bercerita kepada teman-temanku tentang sosok Ayah yang mencintai uang lebih dari Tuhannya, padahal ia rajin beribadah, dan sering menasihatiku agar beribadah juga. Tapi ia ibadah sepertinya meminta agar uangnya tidak habis dan terus bertambah. Jadi beribadah untuk uang atau untuk Tuhan? Hanya Ayah yang tahu. Dan aku juga tidak peduli.

 

Sebenarnya kalau bicara soal kondisi ekonomi keluarga, aku adalah yang paling diuntungkan. Aku masih kuliah. Kulaihku dibiayai oleh Ayah, karena ia mungkin ingin aku bisa jadi pengeruk uang seperti kata Kakakku. Dan aku bisa minta uang ke Kakak atau Mama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku, seperti makan, misalnya. Atau ya memang makan saja tidak ada hal lain. Tapi aku minta uang pun bukan tanpa usaha. Aku ini adalah wadah mengeluh bagi Kakak atau Mama. Kadang Ayah juga suka ikutan mengeluh tentang bagaimana sikap Kakakku yang tak kunjung berubah terhadapnya. Jangan dikira mudah menerima keluh-keluhan dari satu keluarga seperti itu. Setidaknya dalam satu minggu aku sudah harus siapkan satu atau dua malam untuk meladeni mereka. Mendengar itu lelah, apalagi kalau kita tidak pernah didengar. Mereka seakan beranggapan bahwa aku ini tidak punya masalah sama sekali, tidak pernah memikirkan bagaimana kondisi keluargaku, atau apalah itu yang ada pikiran-pikiran mereka. Tapi ya aku juga tidak pernah mengeluh balik kepada mereka karena aku nanti tidak akan diberikan uang saat meminta.

 

Di hari Minggu hanya jeda dua atau tiga hari—aku lupa--setelah kakakku menuangkan carut marut dalam dadanya kepadaku melalui pesan instan, kami berdua bertemu. Satu hari sebelumnya ia sudah menanyakan apakah aku akan pulang ke rumah Mama akhir pekan ini, lalu kujawab kalau tiap akhir pekan juga pasti pulang. Kakak sendiri menanyakan keberadaanku juga karena enggan pulang jika tidak ada aku di rumah, sebab ia malas hanya berdua dengan Mama dan tidak ada nada perbincangan menarik apa-apa selain berbicara kaku satu sama lain. Saat Kakak sedang di meja makan---sibuk merokok dan membaca buku yang lebih enak untuk dijadikan ganjalan pintu---aku menghampiri Kakak kemudian berbasa basi terkait persoalan kemarin, “Kak jadi kasih uang kemarin ke Mama?”

 

“Enggak. Saya bilang saya mau nikah lalu saya perlu menabung. Uang pegangan saya sekarang hanya cukup untuk hidup sampai gajian yang masih dua minggu lagi, sisanya sudah masuk ke dalam tabungan,” balas Kakakku sambil menghisap rokok yang sudah dipuntungkan sebelumnya.

 

Aku pikir dia bercanda saat bilang ingin menikah, jadilah aku menjawab, “Bohong Kakak oke juga. Mungkin saya bisa ikutin, bilang kalau saya berbuat salah karena menghamili pacar atau semacamnya. Yang penting Mama tidak pinjam uang.”

 

“Bodoh. Kamu pikir saya bercanda. Saya memang akan menikah. Akhir tahun ini rencananya. Saya juga bilang sama Mama. Dan lagian mana mungkin mama pinjam uang ke kamu? Sekarang aja kamu enggak lebih dari pengemis.”

 

Ya, begitulah Kakak, selalu gahar kalau sudah keinginannya dibercandakan atau tidak dianggap serius. Jadilah tubuhnya yang tampak tak bersenjata itu mengeluarkan peluru-peluru otomatis dari seluruh congornya. Maksudku kata-kata yang begitu bisa meluka. Untung aku tidak begitu peduli dengan apa yang ia bicarakan terutama terhadapku. Lagipula Kakak tidak salah berkata demikian. Aku saat ini hanyalah pengemis saja. Belum tau ingin berbuat apa ke depannya, segala jalanku sekarang masih ditentukan oleh mereka yang punya kontrol. Maaf, terlalu rumit, maksudku mereka yang punya uang.

 

Jujur saja, aku terkadang merasa sudah mati rasa dan tak mampu untuk merasa sakit lagi ketika ada hal-hal menerjang tajam ke diriku, apalagi kalau datangnya dari keluargaku dan perkara materi. Sering aku berkhayal, alangkah indahnya kalau mereka bertiga tidak ada. Bukan hilang karena kemauan mereka atau mati karena takdir, tapi karena aku dengan sengaja menghilangkan nyawa mereka lalu merampas segala harta mereka agar aku tak melulu merasa rumit karena masalah serupa. Maksudku uang. Adegan yang selalu terbayang di kepalaku adalah menaruh racun di makanan mereka saat kami berkumpul, misal saat ulang tahunku dan sedang makan pagi, siang, atau malam bersama di rumah—aku tak peduli kapan waktunya. Aku yang akan membelikan makanannya, lalu memasukkan racun apapun itu yang penting bisa membuat nyawa mereka hilang. Dalam keadaan canggung--karena sulit membayangkan Ayah dan Mama ada lagi di satu meja bersama—mereka makan dalam diam, kemudian kesakitan dalam diam, dan mati dalam diam. Kemudian aku hanya akan melihat mereka, memutar lagu “Going, Going, Gone”  milik Bob Dylan dari handphone-ku, membakar rokok, dan berdansa sendiri mengitari meja, mengitari mayat-mayat keluarga. Sayang saja itu hanya ada di khayalku. Tidak mungkin aku seberani atau nekad seperti itu. Lagipula membayangkannya saja sudah bisa membuatku tersenyum. Dan itu cukup.

 

Beberapa minggu kemudian, di meja makan dan rumah yang sama, aku dan Kakak berbincang lagi saat sedang makan siang. Wajahnya sangat sumringah seperti baru saja orgasme satu atau dua jam lalu. Tidak biasa mata ini melihat wajah kakak seperti itu. Jujur aku lebih suka melihat aura hitam dalam dirinya dengan muka lusuh serta tak bersemangat seperti biasanya. Tapi tentu aku tahan berkomentar seperti itu.

           

“Saya tiga hari lalu bertemu Ayah. Dia mau membiayai pernikahan saya,” celetuk Kakak sambil melahap nasi padang penuh kuah pada nasi yang ia makan dengan daging ayam secuil. Sial betul pikirku, kakak ternyata benar-benar serius ingin menikah sampai-sampai bertemu dengan Ayah setelah bertahun-tahun tak pernah berkomunikasi. Aku dengan sok santai menanggapi, “Serius, Kak? Wah kesambet apa Ayah ya sampai bisa seperti itu. Apa saya harus hilang bertahun-tahun juga lalu bilang mau menikah ya?”

 

“Kamu bukannya tidak mau menikah?” Balas kakak dengan nada serius. Jelas-jelas aku sedang bercanda, jadilah aku menanggapinya serius juga, “Ya memang tidak mau. Aku tidak ingin pernikahanku gagal seperti Ayah dan Mama. Dan aku rasa, aku terlalu mirip dengan Ayah. Jadi aku lebih memilih untuk tidak menikah saja. Dan aku pikir, orang semacam Ayah atau Mama tidak peduli dengan kita. Tapi ternyata kau bisa begitu didukungnya sampai mereka rela mengucurkan uang-uangnya untukmu.”

 

“Jadi sekarang kamu ingin menikah?”

 

“Tidak saya ingin uangnya saja.”

 

“Ya kamu bilang saja kepada Ayah.”

 

“Bilang apa?”

 

“Bilang kamu tidak ingin menikah tapi ingin uangnya.”

 

“Mana mungkin Ayah mau memberikan kalau tujuannya tidak jelas untuk apa?”

 

“Bilang saja untuk membalas perlakukan Ayah kepada kamu karena hanya bisa memberikan kasih sayang berupa uang. Dan kehadiran Ayah sebenar-benarnya Ayah adalah mahal harganya, bahkan uang Ayah saja belum tentu cukup untuk mengganti nasibmu itu.”

 

“Ah ide Kakak brilian. Kalau begitu saya akan bilang begitu setelah lulus kuliah nanti.”

 

“Semoga berhasil kalau begitu.”

 

Sial lagi nasibku, Kakak benar-benar menanggapinya dengan serius. Atau justru karena wajah cerianya yang tak biasa itu aku jadi tidak bisa melihat apakah ia sedang bercanda atau benar serius. Sebab satu hal yang pasti dari percakapan tadi, aku tidak mungkin bisa melakukan itu. Aku pasti akan selalu kalah dari kultur keluarga yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan hukum negara. Lebih baik aku belajar saja untuk menerima dan bertahan hidup dengan kondisi seperti ini walau membatin dan sudah mati rasa. Selama aku masih bisa mengkhayal itu amat cukup.

 

Karena intinya, aku pasti akan selalu kalah. Pasti.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


15 Apr 2019 21:17
146
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: