Seperti kunang-kunang di malam hari
perempuan itu berteman ajal kala anaknya tertidur sendiri
disibakkannya tirai labirin pembakar mimpi
Menjelma begitu abadi dalam sepi
Ia menggerutu akan pilu yang semakin menggebu
demi sekolah putrinya, ia menjadi mayat yang terasing bisu
Menguyupi jalanan, menderakkan cumbu satu persatu
Mengutuki kaum berdasi yang sedang riuh
Sesak seolah tak mau menepi dari tubuh
Perempuan itu seringkali mengeluh
mengobarkan luka sendiri lalu pulang sehabis subuh
potret ketika yang halal seolah menjauh
meninggalkan ruh yang sebentar lagi kian runtuh
Bagaimana ia rela menjejal tubuh ?
dicibir tetangga yang seolah menyimpan isyarat prahara beku
Tak dipedulikannya satu persatu
toh inilah fakta perihal kelabu
Kiamat nafasnya seolah remuk pada segala arah
melontarkan tangis yang kian amarah
pada diri yang hina
Jejaknya ditumbuk pada sebuah gairah
Meski sesekali penyesalan datang menyapa
Berulang kali ia berdoa
agar putrinya hidup dalam aljabar atau logaritma saja
Tak peduli betapapun peluh atau nyeri yang ia rasa
meski pekik dan umpatan melingkar dimana-mana