Dalam tulisan panjang yang nyaris abadi
Selesai dalam sebuah dongeng penuh mitos
Perjalanan Sang Ular yang menelan ekornya sendiri
Ada subjektivitas dan keangkuhan di setiap nada bicaranya yang sombong
"Aku pernah sesakit ini. Tolong selamatkan aku"
–pun sebuah kerinduan dan pesan subliminal
kecemburuan hidrogen satu dengan yang satunya
Udara yang naif dengan porosnya yang 'suci'
Lucu saat semua ketidakstabilan itu adalah rotasinya
Mengudara, mengimani, membinasakan. Di samping semua erangan,
"I'm trying my best ..."
Denting tuts piano yang bermesraan lebih dari kita
Seabra bilang ada kuburan yang harus digali untuk sebuah kepercayaan dan keyakinan itu
tumbuh seirama hilangnya rasa takut
Kata dewa penunggu hutan besi yang ringkih lamun gigantik, "Kalau memang aku bisa mengikhlaskan rasa benci ini, aku ..."
Di setiap keputusasaan dan panjangnya malam yang mengular menjalar
memasuki sela-sela jendela dan kosen tua iri pada kening kosen baru yang dicium matahari
Hatiku terlalu sempit untuk memahami hal serumit ini, –pun sedungu lubang yang tak berpindah dari hunusan air hujan untuk maumu yang sederhana.
Jangan bicara lagi. "Peluk aku. Aku mau pulang" kataku
Untuk setiap pagi yang kubayangkan adamu di sini
Aku mencintaimu dalam semua tangis yang kutumpahkan tanpa pernah kau tahu
Aku juga mau dibincangkan angin dan senyummu, dan matamu yang bicara, dan pipimu yang meramu serbuk persik yang manis
Kumohon, cintai aku
Kata kaktus monoid di tas kanvasku, "Sayangi awan itu sekali lagi. Jangan jatuhkan lagi dia ke palung itu. Hatinya sudah cukup sakit"
Kataku, "Maaf. Aku mungkin bukan aku, tapi mega-mega yang menggembala diri mereka sendiri ke tenggara menjumpai untuk mencintaiku. Menyisakan sedikit sisa semalam. Kuharap itu darimu"