Meskipun matahari sudah terbit dua kali ba'da subuh ini,
merangsek malu di antara anak rambut pepohonan yang terjaga sewindu lebih.
Menyentuh paviliun milik buana, lalu terajut di sana.
Satu di balik bukit, agak ke atas menyembul pelan. Pelan sekali.
Satu lagi di sini, baru saja berciuman dengan bibir gelas.
Matahari jelas terpatri di senyummu, menjelma partitur riang setelah semalaman berelegi merindumu.
Dengannya lengkap lansekap wajahmu, selaras pinus yang menari-nari ditarik angin.
Kau dengan segelas teh hangat, kue keju, dan senyummu,
adalah penawar untuk setiap rindu yang timbul atasmu.
Rindu yang tak berkesudahan, yang tak berujung.
Parhelion, kaulah puan itu.
Puan dengan senyum sehangat matahari, jua bak merta jiwa.
Seperti hari ini, kau berulang untuk lagi mengumbar cerahnya nur mentari.
Maka, bak inti bentala, bulat sudah keputusanku.
Saat kemunculanmu yang berikutnya, kulamar kau dengan saksi bibir hutan pagi buta,
dan seisinya.
Agar tak lagi rinduku kau tawar dengan esemmu yang klandestin kupandangi.
Setelahnya kau berhutang menyeduhkan teh serupa denganmu, di pagi hari nanti sampai mati.
Aku mencintaimu sungguh, wahai puan yang seluruh hatiku sudah di tangannya.