“Sora, pernahkah kau terpikirkan bagaimana rasanya menjadi awan yang setiap hari
mengembara?” Hara mengelus punggung Sora yang membungkuk. Sejak tadi Sora terus saja
menunduk. Dan Hara tak pernah putus asa membujuk Sora untuk berhenti menyelam dalam
nestapanya. Mungkin hari ini Sora sedang tidak berbahagia. Endorphine dalam tubuhnya tak
pernah menemukan muara. Sudah sewindu sejak peristiwa kelam itu terjadi, senyum Sora tak
pernah terlihat lagi. Hari itu cukup merenggut segala yang Sora punya.
“Diam!! Suara bisingmu itu terus saja mengangguku.” Selama delapan tahun pula, kata
kata itu melebur dalam labirin otak Sora. Tersimpan baik-baik dan tentu saja, membekas.
Menahan tangis bukanlah hal yang mudah. Tapi Sora selalu saja berhasil melakukannya. Berkat
kata-kata ajaib itu. Yang keluar dari mulut orangtuanya sendiri.
Sora adalah gadis yang baik. Ia selalu suka mengembangkan senyumnya. Bahkan setelah
semalaman lengkung bibirnya hilang oleh rasa sedih yang luar biasa. Mungkin terdengar
hiperbola, tapi memang begitu keadaannya. Sora tak pernah didengar, bahkan di rumahnya
sendiri. Yang konon katanya adalah tempat bagi jalan pulang segala keresahan, tapi kenyataan
menyatakan sebaliknya.
Ingatan Sora berserakan. Isinya dipenuhi suara teriakan dan senyap tangisan.
Keluarganya hancur, juga jiwanya. Tiada lagi yang menyayanginya. Sora kehilangan bahu untuk
bersandar, dan tangan untuk mengenggam. Sora kehilangan alasan untuk pulang.
Sejak Ibunya mendua, mata Sora tak lagi menampakkan rasa percaya. Kala itu, ia
pertama kali melihat seorang lelaki kesayangannya menitikkan air mata. Larut malam Sora
melihat ayahnya menangis. Saat itu juga, segala rasa bahagia yang tertanam di dada Sora gugur.
Entah seberapa besar harga tiap airmata seorang ayah, yang jelas, malam itu sangat
menyesakkan bagi Sora yang menyaksikan bulir-bulir airmata ayahnya mengalir. Udara malam
itu menjadi sangat dingin. Aura kelam malam itu semakin terasa. Tapi langit dengan tabahnya
menjadi sedikit lebih terang dari biasanya. Entah mengapa, malam itu benih amarah bagi Ibu
Sora mulai tumbuh. Entah mengapa.
Harusnya, kata-kata “entah mengapa” tidak cocok untuk mewakili perasaan Sora yang
sesungguhnya. Jelas-jelas alasan tumbuhnya benih amarah itu tidak perlu dipertanyakan lagi.
Tapi, tidak mengapa. Kata “entah mengapa” cukup mewakili sikap Ibu Sora. Yang terus saja
menutupi realita yang ada. Ia selalu saja mengada-ada. Itulah mengapa Sora kehilangan
kepercayaannya. Bahkan terhadap wanita yang melahirkannya.
Ayah Sora juga tampak kesakitan. Jiwanya menjerit dan perasaannya sakit. Kantung
matanya menebal dan menghitam. Dahinya mengerut lebih dalam. Langkahnya lesu dan tak lagi
memiliki nafsu. Sulit sekali lambungnya menerima sesuap sendok nasi. Perutnya memilih
kosong dan bibirnya mulai pucat. Hari itu, Ayah Sora memilih pergi. Meninggalkan istrinya yang
tak memilihnya lagi. Meninggalkan Sora, putri kecil yang kehilangan seluruh kebahagiaannya.
Ayah Sora memilih lari dari kenyataan. Meninggalkan jejak-jejak ketidakpastian yang
menyakitkan. Mulai hari itu, segalanya nampak berantakan. Ayah Sora pergi entah kemana, Ibu
Sora tinggal dengan kekasih barunya, sementara Sora hancur sendirian.
Jiwa dan raga Sora turut sakit. Ia kerap duduk termenung dan membiarkan hujan
membasahi seluruh tubuhnya. Menunduk dan mengutuk dirinya yang tak pernah menjadi
sumber kebahagiaan orangtuanya. Bibirnya selalu pucat. Mungkin karna mengering dari sisa
sisa air hujan. Hanya dimomen itu, Sora berhasil menciptakan senyap tangisan. Teriakannya
selalu samar oleh gemuruh. Air matanya samar oleh air hujan. Semuanya samar. Sora tak
pernah berani menatap langit ketika matanya tak kuat lagi menahan kumpulan air mata.
Sesegera mungkin air mata itu akan meleleh di lembah pipinya jika ia tetap menegakkan kepala.
Sora selalu mengutuk hari-harinya. Ia hidup seorang diri dengan penuh nestapa.
Sore itu, Sora berdiri di ujung rooftop perpustakaan kota. Dari kejauhan, tubuhnya
nampak mematung, tak begerak sama sekali. Pandangannya kosong. Helai rambutnya tumbang
dengan desir angin. Dari atas sini, tak sedikit pun sorot mata Sora tertarik menatap
pemandangan bawah. Kepalanya terus saja mendongak. Entah sampai kapan Sora harus hidup
seperti ini. Entah sampai kapan senyum di bibir Sora tak palsu lagi. Dua kalimat itu menggema
di pikiran Sora. Entah langit mendengarnya atau tidak, Sora terus berharap kebahagiaan dengan
senang hati singgah dikehidupannya.
“Hei!” Seseorang memukul pundak Sora.
Pandangan kosong Sora menjadi berantakan. Tak lagi fokus menatap langit.
“Kau tidak apa-apa? Mengapa terdiam seorang diri disini?”
“Eh, umm..” Sora gelagapan.
“Kau tidak sedang merencanakan acara bunuh diri, kan?” lelaki itu menatap Sora lebih
dalam. Ia nampak ingin memastikan.
“Hei! Jelas tidak, lah!” Sora mengelak.
“Hahaha, kukira..”
“Lagipula, untuk apa mematung seperti ini disore hari? Pikiranmu sedang kacau, ya?”
Sora hanya diam. Rupanya kedatangan lelaki muda itu tak disambut baik oleh Sora.
“Umm, kenalkan, namaku Hara.”
“Sora.”
“Sebenarnya ini menjadi tempat kesukaanku ketika sore hari datang. Dari sini, aku
mampu melihat lapangnya langit. Setiap aku menatapnya, rasanya aku tak lagi memiliki beban
apa-apa.”
Deg. Sora ingin merasakan hal yang sama.
“Bukannya sok tahu, tapi, apakah benar hati dan pikiranmu sedang kacau?”
Sora mengangguk pelan. Mengiyakan.
“Namamu Sora, bukan? Artinya langit. Nama yang indah.”
“Aku tak tahu masalah apa yang sedang merenggut pikiranmu hari ini, tapi, Sora..” Hara
melanjutkan.
“Iyaa?”
Hening. Hara tak melanjutkan topiknya.
“Hara, bagaimana rasanya memiliki keluarga yang utuh?” Suasana menjadi lebih hening.
Hanya terdengar angin yang membelai dada Hara ketika mendengar pertanyaan Sora.
“Rasanya, menyenangkan..”
“Benarkah?” Sora menunduk. Mengingat-ingat rasanya memiliki keluarga yang utuh.
Sementara Hara sesekali mengutuk bibirnya. Menyesal menjawab seperti itu. Nampaknya,
jawaban Hara merubah banyak gestur tubuh Sora.
Hara menghela napas. Kebingungan melihat keadaan Sora nampak lebih mengenaskan.
Lalu memberanikan diri untuk menghiburnya.
“Sora, kau lihat awan yang bergerak itu?”
Sora mendongak. Berhenti menunduk. Matanya berbinar. Berkaca-kaca.
“Ya, Hara. Mengapa?”
“Mereka datang dan pergi begitu saja, ya?” Suasana hening. Sora turut menunduk
kembali. Ia membungkuk.
“Sora, pernahkah kau terpikirkan bagaimana rasanya menjadi awan yang setiap hari
mengembara?” Hara mengelus punggung Sora. Sora mematung. Tak bergerak sama sekali.
“Langit begitu tabah, ya? Ia menerima dengan lapang datang dan perginya awan.” Hara
melanjutkan.
“Orang-orang datang dan pergi, Sora. Sama seperti awan. Realita memang menyakitkan.
Aku harap hati kita tabah dan lapang seperti langit.”
Hara membiarkan suasana menjadi lengang. Mempersilakan waktu merangkul Sora.
Sebentar saja.
“Sora, kau boleh rapuh hari ini, tapi esok kau harus lekas membaik, ya?” Hara mendekat.
Suara nafas Sora terdengar.
Air mata Sora sukar keluar. Beruntung sekali. Mungkin saking menyakitkannya luka yang
punya. Hara membelai lembut punggung gadis yang baru ia temui itu. Mereka berdua nampak
dekat. Padahal baru itu mereka bertemu.
Sora mengangkat kepalanya, mendongak kembali. Menatap langit sore itu sambil
menepuk pipi.
“Semangat, Sora! Aku percaya kau gadis yang kuat!”
Senyum Sora mengembang. Gurat-gurat jingga sore itu membelai hangat senyum Sora.
“Hari ini, tolong persilakan dirimu bahagia, Sora. Mungkin aku bukan siapa-siapa. Tapi
terima kasih, kau menerima keberadaanku dengan baik disini.”
Sora menghela nafas panjang.
“Hara, terima kasih! Hari ini aku tidak lagi memakai senyum palsu. Senyum di bibirku
adalah bentuk kesaksian-kesaksian awan hari ini. Bahwa selalu ada yang pergi setelah ada yang
datang. Selalu ada bahagia setelah nestapa.”