Senyap, terpental pada sesak yang melekat.
Hembusan harap, ku sebut ia bajingan.
Berjinjit menikam atma pada seonggok jeruji pilu,
Mungkin tetesan darah abadi pada relung jiwaku.
Ku telusuri lorong sunyi, berselimut abu-abu,
tempat di mana rindu adalah penjara semu,
dan kau—kau yang dulu kusebut amerta,
menjadi noda yang tak pernah sirna.
Kau hadir bagai senja yang terbelah,
meninggalkan separuh kelam tanpa kisah,
akankah kau tahu, bagaimana luka ini bernyanyi,
melantun elegi tanpa janji.
Kini amerta hanya sekedar bayang,
ternoda, hancur di tangan yang kau genggam,
apakah kau peduli, bagaimana jiwaku retak?
Atau kau hanya menikmatinya,
menonton atma ini menjadi debu yang tak berjejak.
Sajak ini ku persembahkan untuk mu tuan 1,825 hari.