Air Mata Mualaf
Cerpen
Kutipan Cerpen Air Mata Mualaf
Karya sobrunjml
Baca selengkapnya di Penakota.id

Tidak seperti hari-hari biasanya, ruang tengah siang ini terdengar begitu gemriyek oleh suara beberapa pemuda. Tak jelas apa sebabnya. Padahal ruang tengah sudah lama ditinggalkan oleh para tamu atau penghuni kos terutama sejak beberapa kucing kampung liar sering nyruntul masuk kemudian muntah dan berak di atas tikar. Akibatnya para pemuda lebih memilih teras sebagai tempat berkumpul, ngobrol, gonjrengan atau diskusi-diskusi kecil.


 


Merasa penasaran dengan keriuhan yang terjadi di ruang tengah, Goplek yang baru saja selesai mandi setelah absen bersentuhan dengan air selama tiga hari langsung menuju pusat keramaian dengan kondisi handuk masih meliliti bagian bawah tubuhnya dan keranjang berisi peralatan mandi tertenteng rapih di tangan kanan.


 


"Copa America?"


 


"Bukan," jawab singkat salah satu dari mereka tanpa memalingkan wajah ke arah Goplek.


 


"Lhoooo, lha terus?"


 


"Siaran langsung proses mualafnya seorang pesulap."


 


"Hee?!", sedikit terkejut, tapi Goplek terlihat tidak begitu tertarik. Hanya bertahan ikut menonton beberapa detik setelah mendengar jawaban itu sebelum akhirnya ia bergegas melenggang ke dalam kamar.


 


Sebenarnya Goplek tidak terkejut oleh disiarkannya secara langsung prosesi ucap syahadatnya seorang pesulap tadi, ia lebih terkejut kepada kondisi televisinya. Seingat Goplek teve itu sudah ngik ngik suaranya dan hanya mengeluarkan gambar warna putih akibat tersambar petir minggu lalu. "Ajaib," batin Goplek. "Sejak kapan televisi punya mekanisme recovery atas partisi tubuhnya sendiri sebagaimana manusia? Apa mungkin yang tadi itu teve baru? Tapi siapa yang sudi beli teve baru untuk disedekahkan pada kumpulan kere? Apa jangan-jangan Borjes si Minang anak juragan kain yang membawa teve dari kampung setelah libur lebaran kemarin?"


 


Selanjutnya pandangan mata Goplek menyapu poster-poster musisi yang menempeli dinding kamar, sambil pergelangan tangannya naik turun mengoleskan deodorant aroma "smooth blackcurrant" ke arah lipatan ketiak. Sinéad O'Connor, Cat Steven, Michael...Jackson? O, bukan, satu yang terakhir adalah Jermaine Jackson. Wajah ketiganya tampak bersinar dalam poster itu. Dan setelah selesai menggunakan celana dalam, Goplek malang kerik di hadapan ketiganya, bergumam, dan merekayasa dialog imajiner.


 


"Apa sih yang bikin kalian ambil keputusan besar itu?"


 


"Because you know, i need The Healing Room," terdengar suara lembut Sinéad.


 


"A Change is Gonna Come," kata Jermaine.


 


"Oh baby, it's a Wild World..." Pak Kucing bersenandung lirih, meski terdengar aneh karena tanpa petikan gitar.


 


Goplek manggut-manggut, memakai celana, dan beranjak keluar kamar. Niat hati ingin membeli rokok dan gorengan untuk camilan para pemuda di ruang tengah. Belum sampai pintu rumah, Goplek putar balik, kembali ke kamar. Merogoh dompet di saku jaket yang tergantung, sekejap mengecek isinya, kemudian berjalan keluar kamar sambil melirik tipis wajah Cat Steven, "it's a wild world, baby.".


 


"Beli gorengan dulu ya!"


 


Senyap. Tak ada respons. Hanya suara kemrusuk yang berasal dari dalam tabung kaca. Masih dengan tayangan yang sama. Ada dua kemungkinan: pertama, mereka terlanjur fokus kepada acara teve sehingga tidak mendengar suara Goplek. Atau yang kedua, mereka sudah hafal perangai Goplek, kalau Goplek pamit membeli gorengan, maksudnya tidaklah murni karena ingin nyuguhi, melainkan lantaran Goplek memang hobi nyambangi si pedagang gorengan yang seorang janda muda itu, yang setiap berdagang memakai kaus dan celana ketat sehingga terpampang jelas 'pahatan' serta 'ukiran' yang keindahannya mengalahkan karya seni yang paling nyeni sekalipun. Belum lagi kalau kebetulan yang dipakai kaus putih tembus pandang dan tali 'kacamata kuda'-nya sedikit mengintip dari tengkuk, wah jackpot!


 


Tak lama berselang, Goplek kembali membawa kantung kresek berisi gorengan dan dua bungkus kretek. Satu bungkus dilempar ke atas tikar, satunya ia masukkan ke dalam saku celana. Keadaan ruang tengah sudah berubah menjadi agak lebih tenang. Televisi mati. Posisi duduk mereka membuyar meski semuanya masih berada di satu ruang yang sama, hanya jaraknya lebih longgar.


 


"Ini adalah refleksi permukaan yang sedikit menjelaskan kepada kita bagaimana kondisi sesungguhnya dari alam bawah sadar ummat Islam," tutur Mat Kolep.


 


"Air beriak tanda tak dalam," Dul Kuntul menimpali.


 


"Apa istimewanya orang masuk Islam sehingga harus di-blow up sedemikian rupa oleh media? Karena yang menjadi mualaf ialah seorang public figure? Apakah dimensi Islam membedakan nilai seorang public figure dengan seorang pedagang pecel, misalnya?"


 


"Tentu tidak. Nilai setiap manusia sama di hadapan Allah, yang membedakan manusia satu dengan lainnya hanya kadar taqwa, dan kadar taqwa tidak bisa diukur oleh sesama manusia. Itu sebabnya kita sangat dilarang menghardik keimanan seseorang," Borjes coba menjawab.


 


"Haiyooo, jadi, apa arti semua kehebohan ini?"


 


"Inferioritas dan mental bebek," kali ini giliran Cakil yang nimbrung. Goplek masih sibuk nyeklus lombok dan nggiling tahu sumpel di pojok ruangan, tapi sorot matanya serius mengamati. "Respons kita sebagai ummat yang terlalu lebay menyikapi fenomena mualafnya seorang public figure ini menunjukkan betapa mental keummatan kita masih sangat prematur. Kita belum merasa yakin kepada diri kita sendiri. Untuk yakin kepada Islam, kita terlebih dahulu membutuhkan 'orang besar' masuk Islam. Untuk benar, kita masih butuh pembenaran. Masih butuh faktor-faktor eksternal. Betapa inferiornya. Kalau logika ini diteruskan, kita akan sampai pada kenyataan bahwa sesungguhnya kita semua ber-Islam belum dengan keyakinan dan kebulatan yang orisinil dari pribadi kita masing-masing."


 


"Kalau yang mental bebek itu, maksudnya bagaimana, Kil?" Dul Kuntul mengejar.


 


"Seperti yang Borjes bilang tadi, dalam dimensi Islam, nilai seorang public figure tidak berbeda dengan nilai seorang pedagang pecel. Kita tidak heboh jika seorang pedagang pecel menjadi mualaf, tetapi kita amat bangga dan kagum apabila seorang public figure masuk Islam. Kenapa? Karena public figure kita anggap sebagai sosok yang pasti hype, populer, hebat, ciamik, keren, dan agung. Siapa yang membentuk semua anggapan itu di dalam kepala kita? Media. Dengan kata lain, segala kelebayan respons terhadap kasus mualaf ini adalah tanda keberhasilan media menggiring alam berpikir kita semua sebagai ummat. Kita belum berdaulat. Kita masih ikut cara berpikir mereka. Kita masih sebatas objek. Kita masih serupa kumpulan bebek yang selalu nurut ke manapun media mengarahkan tongkat. Itu baru media, belum subjek-subjek lain di dalam peta sejarah yang peran dan pengaruhnya lebih besar."


 


"I can hear youuuuuuu," sahut Mat Kolep dengan suara dan cengkok yang persis Spongebob Squarepants.


 


Setelah uraian terakhir dari Cakil selesai terlontar, keadaan sedikit mereda. Tak ada lagi yang mengemukakan pendapat. Intensitas menurun. Angin berembus dari arah pintu memberi jeda kepada nafas para pemuda itu untuk sejenak mengendapkan seluruh bahan yang telah mereka omongkan sedari tadi.


 


"Kalian hanya terlalu paranoid sebagai pemuda yang baru mekar," suara Goplek membuyarkan kelengangan. Membuat beberapa pemuda itu kembali membenahi posisi duduknya.


 


"Kalian terlalu memandang seram dunia. Yang dibutuhkan oleh pemuda-pemuda muslim adalah kewaspadaan, bukan ketakutan-ketakutan semu. Kewaspadaan akan membentuk karakter kalian ke arah kedewasaan secara sehat. Tetapi ketakutan hanya akan menjadi hologram yang menutupi penglihatan hati dan pikiran kalian dari potensi-potensi kebaikan. Karena parno, sedari tadi yang bisa kalian tangkap hanya kemungkinan-kemungkinan yang buruk. Padahal kalau kalian mau sedikit berusaha melebarkan dada, kalian akan menemukan percik cahaya Allah dari kasus ini."


 


"Maksudnya?"


 


"Apa kalian tidak merasa takjub, bahwa di tengah kondisi Islam yang setengah mati dimanipulasi oleh hampir seluruh pihak yang mengendalikan sejarah dunia agar terlihat seram, jahat, keji, barbar, angker, kotor, culas, bengis, dan kejam seperti keadaan hari ini, kok ada yang tertarik dan mau masuk Islam? Harusnya dengan segala rekayasa citra buruk yang ditimpakan kepada Islam dewasa ini, orang-orang semakin ngeri kepada Islam. Jangankan masuk, untuk mengenal dan mendengar kata Islam saja mungkin tak sudi. Tetapi kenapa yang terjadi justru sebaliknya? Berbondong-bondong orang penasaran terhadap Islam dan akhirnya justru bergabung masuk ke dalam Islam. Tidak masuk akal jika kita kupas fenomena ini dengan logika linear. Pasti rahmat Allah yang menjadi faktor x dalam kasus ini, sebab akal kita sungguhlah tak mampu menjangkaunya. Allah benar-benar hadir. Allah menyapa kita semua yang mulai meragukan-Nya. Tidakkah kalian semua tergetar dengan tanda-tanda yang dihamparkan Allah ini? Tidakkah kalian terenyuh dan terharu? Kenapa kalian balas sapaan Allah itu dengan sangka buruk? Kenapa...kalian...kenapa?"


 


Goplek tidak bisa meneruskan kalimat terakhirnya. Nafasnya tersengal. Matanya berkaca-kaca, air matanya perlahan mulai rembes. Ia mulai sesenggukan di sudut pojok ruangan. Senggukan-senggukan kecil itu perlahan semakin cepat temponya. Rasa haru di dadanya memompa kesedihan lebih cepat sampai di titik puncaknya. Goplek meledak tangisnya. Benar-benar menangis. Menangis sejadi-jadinya. Seperti tangisan bayi memecah sunyi dunia. Suara tangis Goplek memenuhi ruangan. Ikut merembes juga kesedihan itu di hati pemuda-pemuda lainnya. Di sanubari Mat Kolep, Dul Kuntul, Borjes, dan Cakil. Semua. Juga dinding, lantai, tikar, gelas-gelas, meja, kursi, air, bulir-bulir udara.


 


Semakin Goplek melepas deras tangisnya, semakin deras pula cahaya-cahaya lepas dari kulit langit. Menabur, menghujani seisi rumah.


 


Berapa banyak kami melupakan dan meninggalkan-Mu?


Sebanyak itulah kami mesti kembali mengucap syahadat dan memulai Islam


Dari dalam darah, daging, tulang belulang kami.


 


 


Pamulang, 22 Juni 2019.

23 Jun 2019 07:32
250
No., Jl. Dr. Setiabudi No.26, Pamulang Tim., Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15417, Indonesia
3 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: