Yang Terpanggil
Cerpen
Kutipan Cerpen Yang Terpanggil
Karya sobrunjml
Baca selengkapnya di Penakota.id

Dengan susah payah Goplek membuka dua bola matanya pagi ini. Belek di sudut pelupuk mata terasa lebih lengket. Seperti ada yang memanen getah karet di dalam tidurnya malam tadi.


Suasana ruang tengah masih berantakan. Cangkir-cangkir berisi kopi yang tinggal seperempat, remahan wafer, dan puntung rokok yang berceceran di sana-sini mengucapkan "selamat pagi" kepada jiwa Goplek yang masih malas untuk kembali menatap wajah dunia. Dunia semakin tua. Begitu pun Goplek. Semakin tua, dunia semakin terasa menjemukan. Manusia yang semakin konyol, peradaban yang semakin mundur, dan problem hidup yang itu-itu saja sejak Nabi Adam tak sengaja memetik buah khuldi.


Beruntung Goplek masih punya alam mimpi. Sebuah dimensi fatamorgana di mana kenyataan dunia bisa berlaku terbalik atau justru tidak berlaku sama sekali. Anggap saja pelarian. Di tengah himpitan sejarah, derap langkah zaman, serta oligarki rezim yang makin memupus manusia dari hakikat kesejatiannya, apa yang salah dari sekadar bermimpi nonton bioskop bareng Prisia Nasution, misalnya?


"Cepat ambil almamatermu, Plek!"


Goplek belum sadar betul ketika suara Mat Kolep yang sember menusuk gendang telinganya. Kriyip-kriyip ia pandangi satu per satu penampilan mereka. Penghuni Pasingsingan Tua terlihat bagai anak ayam warna-warni pagi ini.


"Colorfull sekali, brotha! Mau kemana? Car free day? Acara kuis tebak tirai?"


Tak ada yang menjawab igauan Goplek, hanya Dul Kuntul yang langsung menyodorkan secarik kertas selebaran kepada Goplek. Selebaran diterima. Ia baca dengan seksama satu per satu huruf, kata, kalimat, makna, aura dan nuansa emosi yang terkandung di dalamnya. Goplek sangat serius terhadap pikiran manusia meskipun manusia tidak pernah serius terhadap pikiran-pikirannya. Hidup adalah manuver-manuver sunyi di atas papan catur. Yang bisa ditebak lebih sedikit jumlahnya dari yang tak bisa ditebak.


"Ayo ikut. Cepat ambil almamatermu. Kau yang paling sering mempertanyakan peran dan fungsi anak muda. Sekarang inilah waktunya," desak Borjes.


"Aku tak punya almamater. Andaikan almamater adalah simbol dari sumur ilmu tempat manusia menimba hidup, alangkah sesaknya isi lemariku. Di sana terdapat seragam DKPP, seragam petugas Damkar, seragam pemain sepakbola, seragam petugas outbond, seragam pramusaji, seragam pramugara, seragam nelayan, seragam ojek online, dan seribu seragam lain. Yang paling susah itu kan cari seragamnya Tuhan, padahal Dialah almamater utamaku, sumber primer segala ilmu dan pengalaman akalku. Kalau seragam Kanjeng Nabi Muhammad, masih bisa lah kita kompromikan dengan memakai seragam muktamar Muhammadiyah atau rompi Majelis Rasulullah."


"Nglantur. Kedawan."


Untuk menolak sesuatu, biasanya Goplek memang berputar terlebih dahulu ke hal-hal yang temanya jauh dan hampir tak ada persambungannya dengan inti kasus yang sedang diobrolkan. Bahkan saking jauhnya, kadang lawan bicara Goplek sampai lupa hal apa yang sedang menjadi pokok bahasan di awal obrolan. Kalau sudah begitu biasanya Goplek hanya berkilah bahwa ia menirukan alur hidup. Katanya, garis yang menyambung antara titik hidup dan titik mati itu bentuknya tidak lurus melainkan berputar-putar seperti gasing. Maksudnya, hidup manusia menuju mati itu adegannya tidak selalu lempeng. Ada naik, turun, tikungan, kelokan, patahan, dan putaran.


"Intinya mau ikut tidak? Ora cangkeman wae," hanya Cakil yang tidak terseret oleh trik sulap Goplek.


"Hoamh...tuntutannya masih bersifat elementer, belum mendasar. Kalau begitu cukup kalian berempat saja yang turun, aku jaga rumah. Doakan tak hanya menjaga rumah, tapi juga dikaruniai ilham agar tidak malas memasakkan makanan untuk kalian nanti."


"Sombong betul. Elementer bagaimana?"


"Ya elementer. Masih dahan, ranting, atau bahkan daun sifatnya, kalau pakai terminologi anatomi pohon. Belum akar. Jadi andaikan mereka (The Called Ones, yang terpanggil) berhasil menjadi sebab atas terjadinya perubahan, yang akan terjadi barulah perubahan sementara atau perubahan jangka pendek. Akan sama sekali berbeda apabila yang mereka tuntutkan kepada pemerintah, misalnya, adalah pembenahan-pembenahan konstitusional dengan tekanan berupa pemilahan fungsi antara negara dan pemerintah. Di sanalah akar tua keropos yang menjadi awal dari setiap lahirnya buah-buah busuk. Itu wilayah teknis. Untuk wilayah non-teknis, kita bisa tuntutkan kepada para pejabat, misalnya, pembenahan-pembenahan mengenai landasan falsafah spiritual dalam bingkai pelaksanaan hidup bersama di dalam suatu wadah yang bernama negara."


"Tetapi bukankah demonstrasi memang jenis senjata yang hanya digunakan untuk keperluan-keperluan jangka pendek yang mendesak?"


"Betul. Maka aku tak akan turut serta. Ini bukan soal mana salah mana benar. Hanya saja wilayah setiap manusia memang berbeda. Ada pelari cepat, ada pelari marathon. Ada musik rock, ada musik jazz. Ada parkour, ada yoga. Dan aku memilih konsentrasi perjuanganku pada wilayah pembangunan 'Swarm-Intelligence', kesadaran kolektif mengenai penataan hidup yang seimbang dan utuh. Di mana urusan pemerintah dan negara hanyalah salah satu cabang dari rindang dan rimbunnya pohon pembelajaran yang dihayati."


"Butuh waktu sangat lama untuk mencapai kesadaran kolektif, sementara perubahan harus disegerakan."


"Yang terburu-buru, pasti juga akan mendapat kepuasan, walau sesaat. Itulah ejakulasi dini. Setelahnya hanya akan menghasilkan horny dan horny lagi."


"Wuoooh seksolog berkedok edukasi politik, lambe amis!"


"Politik adalah syahwat. Syahwat adalah mekanisme rohani yang dipolitisasi oleh bebalnya akal pikiran. Dua dalam satu. Satu dalam dua yang menyatu."


"Ho'oh Plek, ho'ooooh..."


"Tentu membutuhkan stamina juang yang besar untuk mencapai kesadaran bersama yang seragam mengenai sejatinya hidup. Tetapi, apalah hidup kalau tanpa perjuangan? Dan bukankah hidup sendiri adalah memperjuangkan perjuangan?"


Goplek mengambil kembali kertas selebaran itu. Dengan skill origami yang pas-pasan, ia sulap selebaran itu menjadi asbak berbentuk kubus. Sebatang kretek ditarik, ujungnya Goplek sulut dengan api dari cakrawala yang merentang di garis keningnya.


Anak-anak penghuni Pasingsingan Tua pergi berangkat menuju muka istana. Medan laga. Bergabung bersama yang lainnya. Dada mereka langit. Kepala mereka penuh raungan asap dari hutan-hutan yang terpanggang syahwat. Anak-anak Pasingsingan Tua menyanyikan yel-yel para penempuh sunyi bersama demonstran lain. Mereka berteriak. Mereka nurani rakyat. Mereka rakyat. Mereka menangis.


Menangis karena bingung. Untuk siapa tumpahan air mata ini? Untuk yang berada di dalam ataukah yang berada di luar gerbang istana? Untuk manusia? Ah betapa lebainya manusia.


Sinangoh Prendeng, 24 September 2019.

24 Sep 2019 00:45
160
Jl. Kyai Sinangu, Prendengan, Sinangoh Prendeng, Kec. Kajen, Pekalongan, Jawa Tengah 51161, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: