oranment
play icon
Menjangkau Cahaya
Cerpen
Kutipan Cerpen Menjangkau Cahaya
Karya tanparasa
Baca selengkapnya di Penakota.id

Suara tawa Deeve dan sekitar setengah lusin keponakanku yang lain membuatku terbangun. Bocah-bocah itu langsung masuk ke kamarku tanpa mengetuk. Padahal, baru dua jam aku tidur setelah semalam keluarga kami berpesta untuk menyambut kedatanganku.


"Steel, bukankah pagi ini kau akan ke Pantai melihat sunrise bersama Deeve dan keponakanmu?" Oceh Ibu sambil menyibak tirai jendelaku dan mengomel pada keenam keponakanku untuk tidak usil.


"Bukankah katamu kau merindukan sunrise di Canggu?" Deeve masuk kamarku yang penuh bocah. Aku dan Ibu tersenyum.


"Bukankah di Bali, jam 6 sudah terlalu siang untuk melihat sunrise?" Aku menyamankan posisi dudukku dengan menaruh bantal di punggung. Ibu duduk di atas kasurku sambil memegang tanganku lama. Setitik air bening keluar dari mata besarnya, dan tiba-tiba seperti diperintah, anak-anak yang dari tadi sangat berisik menjadi diam.


"Ibu sudah siapkan beberapa sandwich untuk kalian makan di pantai nanti. Tak apa, di Canggu masih seperti dulu." Sambil tersenyum dan melepaskan tanganku, Ibu menyeka air mata yang keluar dari pelupuknya. Aku memeluknya secepat mungkin.


"Aku lebih merindukanmu, Ibu." Bisikku pada Ibu, lalu ia tersenyum. Kami saling memeluk lama sekali. Melepaskan rindu-rindu terberat saat aku melepaskan masa anak-anakku dan beranjak dewasa tanpa sentuhannya.


Memang begitu, aku akan sedikit bercerita. Bahwa Ibu dan Ayahku bercerai saat usiaku masih 10 tahun. Ayahku memilih meninggalkan Bali dan membawaku ke Sydney, tempat beliau lahir dan besar. Ibu dan ketiga kakakku tetap tinggal di Bali, sedangkan aku sendiri yang terpisah karena keinginan Ayah untuk membawa anak bungsunya tinggal di tempat asalnya.


Tujuh belas tahun sudah, sekalipun aku tidak pernah bertatap muka langsung dengan Ibu. Ayah tidak melarangku berkomunikasi dengan Ibu dan kakak-kakakku. Hanya saja dibatasi, hanya lewat telefon. Ayah menyuruhku untuk mengunjungi Ibu saat aku sudah lulus Sarjana. Entah apa alasannya.


Dan, inilah yang terjadi. Hampir dua puluh tujuh usiaku, dan aku baru saja menuntaskan pendidikan Sarjanaku selama lima tahun. Itupun karena Deeve, dia yang membantuku, memberiku segala macam motivasi agar aku bisa segera menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.

Deeve, dia tunanganku. Akan sangat panjang jika aku menceritakannya disini karena akupun tidak tahu harus darimana memulai ceritaku dengan pria super baik ini.


Aku melepas pelukanku dengan Ibu dan bersemangat dengan sangat tiba-tiba.


"Kita berangkat sekarang, anak-anak?" Teriakku. Deeve dan keenam keponakanku itu melongo dan saling menatap keheranan.

Ibu benar, Canggu masih sama. Sesejuk saat aku masih bocah, 10 tahun yang lalu. Tempat ini tidak banyak berubah meskipun saat ini sudah banyak pengunjung yang datang. Hanya bertambah para pedagang yang dulu tidak ada, dan beberapa resort yang dibangun di sekitar pantai.


Aku duduk sembarangan diatas pasir hitam yang hangat terkena cahaya matahari jam 7 pagi. Deeve sibuk dengan ocehan keponakan-keponakanku yang merengek meminta ini dan itu. Aku hanya tertawa dan memandangnya dari jauh.

Melihat pantai yang sudah lama sekali aku tinggalkan, membuatku merasa hidup kembali. Tiba-tiba saja ingatanku melayang-layang. Seperti dibawa angin, terbang bebas menyusuri tiap-tiap sudut Canggu dengan segala kenangannya.


Canggu, Februari 2003

"Steel, kau mau menambahkan apa untuk istana kita?" Bocah itu bernama Zid.

"Aku ingin di sisi sebelah sini ditambah taman, supaya kita bisa bermain bersama setiap hari."

"Baik, Steel. Ini dia, taman istana untuk Kadek Steel Varme."

"Wah, indah sekali, Zid. Kamu pintar. Kamu akan jadi arsitek yang hebat." Puji Steel kecil dengan tulus.

"Kau yakin, aku akan menjadi arsitek hebat seperti ayahmu?"

"Tidak. Aku yakin lebih hebat." Lalu Steel kecil memerangkul bocah itu. Mereka bermain dan tertawa bahagia tanpa tahu apa yang terjadi selanjutnya.


Canggu, Mei 2020

Lalu aku berjalan lagi menyusuri Pantai. Dan tiba di sebuah titik yang lurus dengan sebuah batu karang besar. Kembali lagi kuingat Zid, sahabat kecilku yang sampai saat ini belum sanggup aku melupakannya.


Canggu, Awal Maret 2003

"Kata Kak Na, menulis keinginan kita dan menaruhnya ke dalam botol, lalu menghanyutkannya bersama ombak, bisa membuat keinginan kita terkabul, Zid."

"Kalau begitu, ayo tulis keinginan kita, Steel. Lalu kita hanyutkan disini bersama."

"Baik, ayo tulis!" Semangat Steel kecil sangat membara.

Mereka saling menulis keinginan masing-masing di atas kertas beralaskan pasir hitam Pantai Canggu.

"Aku sudah selesai. Mari kita hanyutkan bersama." Ajak bocah laki-laki bernama Zid itu.

"Sebentar dulu, aku masih belum selesai... Nah, sudah. Ayo kita hanyutkan." Setelah Steel kecil menggulungnya dan memasukkannya ke dalam botol kaca. Sepasang bocah itu menghanyutkan botol yang sudah mereka isi dengan harapan mereka itu ke laut. Sambil masing-masing berharap tidak ada yang memisahkan kasih sayang antara mereka.

"Tetaplah menjadi sahabatku selamanya, Zid."

"Tetaplah menjadi sahabatku selamanya, Steel."

Steel kecil mengacungkan jari kelingkingnya, mengisyaratkan Zid untuk melakukan hal yang sama. Zid pun mengaitkan kelingkingnya dan berjanji pada gadis di depannya untuk tidak saling meninggalkan. Mereka berdua tersenyum puas, menikmati senja terakhir mereka tanpa mereka tahu.


Tanpa kusadari, air mataku sudah menetes.

"Apa kabarmu, Zid? Masihkah kau ingat dengan gadis ingusan yang bersedia menjadi sahabatmu sewaktu kecil ini?" Aku berbicara kepada ombak saja. Tidak mungkin ada yang mendengar suaraku. Atau, tidak mungkin ada yang bisa menjawab pertanyaanku.

Aku merindukan Bali, Canggu, Ibu, dan Zid. Itulah alasanku "pulang". Walau sebenarnya aku takut menyebut semua ini adalah "rumah", karena Ayahku tidak pernah memintaku untuk kembali hidup di Bali seperti tujuh belas tahun lalu.

"Zid, aku akan pindah ke Sydney mulai besok. Ayah memintaku untuk bersamanya." Suara Steel kecil parau saat mulai bicara sahabatnya.

"Dimana Sydney? Apakah itu jauh? Apakah tidak mungkin kita bertemu lagi disini?" Zid terdengar tegar walau sebenarnya aku tahu dia terkejut.

"Tidak, Zid. Kita tidak bisa bertemu. Aku tidak tahu dimana Sydney, tapi kita tidak bisa bersama lagi disini." Steel kecil mulai menangis.

"Bagaimana dengan Ibu dan kakak-kakakmu? Mereka akan ikut bersamamu?" Zid mencoba tenang.

"Tidak, hanya aku yang Ayah minta. Ibu dan kakak-kakakku tetap di Bali." Gadis itu mencoba setenang Zid.

"Berapa lama kau akan pergi? Tidak bisakah jika kau tetap disini saja?" Kini Zid yang mulai gusar.

"Aku tidak tahu, Zid. Aku ingin tetap disini, tapi Ayah memintaku untuk ikut dengannya sekali ini saja." Steel kecil mulai menangis lagi.

"Aku akan menyusulmu, Steel. Aku berjanji, saat aku dewasa nanti, aku akan mencarimu." Zid memeluk Steel kecil yang sudah menangis tersedu.

Sore itu benar-benar menjadi momen senja terakhirku dengan Zid. Dengan saling ketakutan akan hari esok. Dengan rasa tidak ingin mengakhiri hari ini. Dengan berharap hari berhenti saat ini saja.

Sepasang sahabat itu saling memegang tangan, seakan takut jika malam gelap tiba dan memisahkan mereka secara paksa.

Itu adalah hari terakhirku melihat sosok Zid, bertubuh kecil tapi berjiwa besar.

Canggu benar-benar membuatku merasa "hidup".

Tenggelam dalam hangatnya senja bersama seorang terkasih. Burung-burung seakan menari diatas angan-anganku saat mengingatnya. Senandung nostalgia seakan menjadi penghantar ceritaku dengan Zid. Ombak seolah-olah memintaku untuk kembali pada masa kecilku.

Aku memang mencintai pantai ini seperti diriku sendiri, seperti Zid, seperti Ibu, seperti kaka-kakakku. Tapi, hidupku saat ini adalah Deeve. Rumahku ada padanya. Tempat pulangku adalah dia. Halamanku selanjutnya ada bersamanya.

Tapi, jika aku diizinkan membuka kembali lembaran lama untuk bernostalgia, aku ingin Zid ada disana.


calendar
23 Nov 2020 10:38
view
45
idle liked
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig