SIMBOLIK KOLONIALISME “SAIR REMPAH-REMPAH”
Resensi
Kutipan Resensi SIMBOLIK KOLONIALISME “SAIR REMPAH-REMPAH”
Karya tepianwarna
Baca selengkapnya di Penakota.id

Ulas Buku Dapat Buku

      “..Marco Kartodikromo, manusia Jawa tanpa berpatuh ke “kehalusan” atau “feodalisme”. Adab Jawa dimengerti dengan kritis dan terejawantahkan ke olahan bahasa memicu sengketa dan metafora-metafora. Lewat sair, Marco hendak mengangkut perkara-perkara lama yang masih mungkin berubah ke revolusioner..”, melalui pengantarnya tersebut, Bandung Mawardi ingin mengemukakan dua hal. Pertama, “Sair Rempah-Rempah” bukan sebatas mengetengahkan nilai-nilai estetik dari sebuah karya sastra, melainkan juga warna dan gagasan besar yang diusung oleh karya sastra tersebut. Kedua, “Sair Rempah-Rempah” adalah semacam upaya reflektif yang menjadi wajah dari zaman Kolonialisme. Betapa kemudian penjajahan dan penindasan-penindasan yang dilakukan oleh bangsa kulit putih di Hindia Belanda menjadi sebuah titik balik dari bangsa Indonesia melalui semangat perlawanan yang dikobarkan oleh banyak pengarang dan sastrawan. Mas Marco dan “Sair Rempah-Rempah” berada di antara tegangan perselisihan bangsa Indonesia dan orang-orang Belanda. Sehingga kemudian “Sair Rempah-Rempah” yang diterbitkannya menjadi sebuah buku adalah upaya dari menandai zaman yang penuh kekacauan itu. Hiruk pikuk, sengketa, perselisihan, dan ragam konflik lainnya yang memicu putusnya rasa damai. Belum lagi adanya gerakan-gerakan bawah tanah yang di kemudian waktu juga mendepak ke depan dan melakukan perlawanan yang tidak main-main. 

Sebagai seorang pengarang yang hidup di zaman Hindia Belanda, Mas Marco dan “Sair Rempah-Rempah” miliknya bukan hanya teks otonom yang berdiri sebagai karya yang memiliki nilai estetik-individu “aku-lirik” saja, melainkan dituju dengan sengaja sebagai karya otokritik terhadap kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh bangsa kulit putih. Puisi-puisi Mas Marco bukan lagi sekadar jargon yang penuh dengan ungkapan-ungkapan berjubah slogan, melainkan hidup dan berpetuah agar orang-orang Indonesia mau bangkit dari keterpurukan dan mengambil tindakan berani guna melawan kesewenang-wenangan itu.

   

 Ditilik dari segi judulnya, “Sair Rempah-Rempah” berkonotasi sebagai sebuah teks otonom yang bercerita tentang rempah-rempah. Tetapi dari cover buku kumpulan puisi Mas Marco tersebut yang diusung adalah sosok bocah angon yang sedang naik di atas punggung kerbau. Hal ini tentunya dapat ditafsir secara lebih spesifik sebagai lambang/simbol dari otokritik terhadap penjajahan Belanda pada kala itu. Bocah angon, yang dalam istilah Jawa berarti anak penggembala, tidak lagi sekadar seorang anak berusia dini yang masih lugu memandang realita di sekelilingnya. Cover “Sair Rempah-Rempah” tersebut juga menunjukkan bahwa adanya upaya lain yang dilakukan oleh penerbit buku(baca: cetakan terbaru) agar khalayak pembaca lebih jeli dalam menafsirkan makna bocah angon pada cover yang sedang naik di atas punggung kerbau. Kerbau di sana bukan kerbau dalam arti yang sebenarnya, melainkan kerbau yang bias atau bermakna ganda. Kerbau di sana bermakna “penuntun”. Penuntun dalam konteks ini adalah orang-orang pribumi yang semestinya dapat mengayom masyarakat, bukan malah sebaliknya. seperti hal nya yang dapat diketemukan dalam puisi berjudul “Penuntun” yang terdapat dalam kumpulan puisi “Sair Rempah-Rempah” halaman 145.


…”Tidak gampang menjadi penuntun

Kromo tertindas bertahun-tahun

Dia berteriak minta ampun

Seperti orang memakan racun..”


Dari petikan larik awal puisi yang berjudul “Penuntun” tersebut dapat ditafsirkan secara lebih jauh sebagai bentuk ketertindasan bangsa Indonesia yang tidak kunjung mampu menemukan “penuntun”, sehingga lama kelamaan wataknya menjadi ..”setengah jalan/cuma berkata di perkumpulan..” Apa yang kemudian diharapkan dari “penuntun” tadi adalah adanya upaya untuk bangkit dan melawan ketidakadilan setelah mengalami banyak tindakan yang tak mengenakkan, seakan-akan “dipandang kera/oleh orang-orang yang berharta..”, adanya penindasan dan tindakan-tindakan yang memicu ketakbagusan mental pribumi di zaman Hindia Belanda menyebabkan bangsa Indonesia sulit bangkit dan merasa bahwa ketertindasan itu adalah bagian dari zaman yang niscaya, dan akan hilang dengan sendirinya. Bayangan dalam benak mereka adalah, bahwa sang “Penuntun” akan datang dan yang disebut sebagai penuntun tersebut haruslah memiliki kriteria-kriteria dalam bersikap dan berperilaku, “penuntun bangsa janganlah sombong/ mengaku pintar berkata kosong/ bermaksud hendak mengisi kantong/ yang sudah lama selalu kosong..”, penuntun yang lama diharapkan itu pada akhirnya justru banyak yang memeras pundi-pundi dan keringat dari bangsanya sendiri, “menjilat pantat kepada orang-orang yang kuat”, lalu bersikap seolah-olah ia seorang yang memiliki peranan penting bagi pribumi, sedangkan di sisi lain penuntun tersebut juga melakukan penindasan yang tidak sekadar memeras hak rakyat, tetapi juga keringat mereka. 

“Penuntun” yang disitir oleh Mas Marco dalam puisinya tersebut erat kaitannya dengan orang-orang pribumi yang berkhianat kepada bangsanya sendiri dan melakukan perampasan paksa hak-hak rakyat kecil. “Sair Rempah-Rempah” sebagai sebuah teks kumpulan puisi yang mempertahankan suara-suara dari mereka yang nelangsa “seperti/memakan racun”, sudah barang tentu bukan lagi menjadi teks yang mengupayakan identitas teks tersebut sebagai sebuah karya yang otonom, melainkan telah menjadikannya sebagai sebuah perwajahan dari zaman yang ditindas sekaligus tertindas, layaknya “Kromo tertindas bertahun-tahun”. Kromo dalam pengamatan Mas Marco bukan saja individu-individu yang terasing dan mengasingkan hidupnya dari praktik kolonialisme di tanah sendiri seperti yang dilakukan beberapa pihak yang di kemudian hari justru mengabdi pada koloniasme tersebut, melainkan juga merujuk pada hal lain yang ada di balik penyebutan “Kromo” secara tekstualnya. “Kromo” dalam pengamatan seorang Mas Marco adalah seorang warga jelata yang mengupayakan dirinya agar tidak terus-menerus berada dalam wilayah ketertindasan dan berusaha keluar dari wilayah tersebut meski upaya yang dilakukannya selalu menemui rintangan dan berbagai hambatan dari banyak pihak yang memuja praktik kolonialisme di tanah air.

Sebagai sebuah kumpulan puisi yang terbit pada era penjajahan Hindia Belanda, “Sair Rempah-Rempah” karya Mas Marco Kartodikromo merepresentasikan suara di zamannya yang sibuk dengan urusan perang dan hiruk-pikuk konflik sosial yang tak terhindarkan. 8 puisi yang terdapat dalam “Sair Rempah-Rempah” mewakili suara-suara yang terbungkam pada zaman itu dan mewajahkannya kembali pada situasi kini di mana praktik kolonialisme masih terus terjadi tanpa ada upaya penghentian terhadapnya. Kolonialisme yang disuarakan oleh “Sair Rempah-Rempah” tak jatuh sebagai ungkapan slogan yang penuh dengan teriak protes dan kemarahan menggebu-gebu, karena yang terjadi justru sebaliknya. “Sair Rempah-Rempah” menjadi wilayah yang bias karena di satu sisi ia menjadi pembaharu semangat perlawanan terhadap kolonialisme, tapi di sisi lain juga dibuat dengan bahasa puitik yang cukup rapi dalam segi teknis penulisannya, sehingga muatan kritik kolonialisme yang diusungnya tidak jatuh sebagai kemarahan atau protes sehari-hari pada umumnya.



   “Sair Rempah-Rempah” menjadi keterwakilan pribumi yang tertindas dan ditindas mentalitasnya. Mentalitas yang dalam hal ini adalah upaya untuk bangkit dan melawan penjajahan yang sewenang-wenang itu justru dipadamkan dengan banyaknya orang yang merasa berpasrah pada nasib dan keadaan tak menguntungkan. Kebanyakan dari pribumi merasa bahwa kolonialisme bakal berakhir pada suatu waktu, namun yang terjadi justru sebaliknya. Penindasan semakin menjadi-jadi dan upaya untuk bangkit dengan mentalitas perlawanan jadi sangat minim karena rongrongan pemerintah Hindia Belanda melalui berbagai lini menyebabkan upaya perlawanan dari bangsa pribumi tertahan dan mandeg pada suatu persimpangan jalan. Semangat perlawanan yang semestinya berkibar di atas totalitas dan upaya kuat untuk memberontak terhadap ketertindasan tersebut harus mengalami apa yang dinamakan sebagai dishamonisasi disebabkan adanya tekanan terus-menerus yang cukup banyak dari pihak-pihak penjajah, baik dari warga pribumi itu sendiri(yang bekerja pada kolonialisme) atau pun pihak-pihak lain yang juga mendukung upaya penindasan bertahun-tahun tersebut.

Di lain sisi, upaya bersastra dengan semangat perlawanan yang dilakukan Marco Kartodikromo melalui puisi-puisinya juga terus disuarakan dan dalam “Sair Rempah-Rempah” yang sebagian besar ditulisnya dari dalam penjara, tak pernah berhenti dan selesai untuk meneriakkan pekik lantang perlawanan terhadap kesewenang-wenangan bangsa kulit putih.


Upaya bersastra dengan semangat perlawanan yang disuarakan melalui “Sair Rempah-Rempah” menjadikan karya tersebut sebagai tonggak sekaligus monumen yang menandai pembaharu mental perlawanan dari kalangan pribumi yang hidup “seperti/memakan racun”. Racun dalam artian harfiah pada puisi tersebut ialah penyelewengan beberapa pihak dari bangsa sendiri yang memilih arah haluan lain kepada pihak penjajah.


Mentalitas bangsa yang jatuh karena kesewenang-wenangan pihak penjajah melalui praktik kolonialismenya mengerdilkan harapan untuk melawan dengan semangat memerdekakan diri, sehingga keterpurukan bertahun-tahun tetap terjadi di banyak wilayah. “Sair Rempah-Rempah” terus menyuarakan ketertindasan tersebut, meski hanya dengan sejumlah puisi yang hampir kesemuanya cukup panjang dan berlarik serupa pantun lawas. 

Pemanfaatan simbol puitik yang kurang dimunculkan juga merupa sebagai wujud dari pemberontakan dalam sajak yang dituliskan Mas Marco dalam “Sair Rempah-Rempah”. Warna kritik terhadap penindasan menyiratkan zaman yang dikebiri dan ketertindasan menjadi faktor utama dalam bangkitnya semangat bersastra dari para pengarang untuk menulis puisi-puisi seperti yang terhimpun dalam “Sair Rempah-Rempah”. Kebanyakan pengarang yang menulis puisi seangkatan dengan Mas Marco kemungkinan juga menulis tema serupa, hanya saja kurang muncul geliat perpuisian dan bentukan karyanya ke permukaan.


Upaya perlawanan melalui tenaga bahasa dan kata-kata yang dilakukan oleh Mas Marco melalui “Sair Rempah-Rempah” tiada lain sebagai rasa kesalnya terhadap tindak penindasan dan praktik kolonialisme yang hadir dan mengada di tanah air. Sastra sebagai upaya melawan ketidakadilan adalah hal yang digadang-gadang oleh kumpulan puisi “Sair Rempah-Rempah”. Pembaharu perlawanan dalam puisi-puisi di dalam buku tersebut tidak semata-mata hanya untuk kepentingan komersialnya saja, melainkan juga pendobrakan situasi dan zaman yang jungkir-balik akibat kekacauan dari pihak Hindia Belanda yang bercokol sebagai pusat kekuasaan yang tak mau hengkang dari tanah air. Sastra yang dibawa oleh Mas Marco dengan “Sair Rempah-Rempah” membumi sebagai sebuah teks yang dihayati dalam tafsiran Nusantara, sehingga puisi-puisi yang ditulisnya benar-benar mewadah sebagai deretan tema yang mengobral protes dengan polesan bahasa yang tidak sekadar berucap dengan daya esksentrik, melainkan gugahan dari perlawanan kaum tertindas yang berupaya bangun dari mentalitas setengah ciut.


Belenggu penjajahan dan etnisitas yang mengalami penindasan membuat Mas Marco terus tertantang untuk menyuarakan sikapnya melalui bahasa. Sastra sebagai sarana untuk membungkam ketidakadilan digunakan dengan sangat tepat dan penuh kejelian oleh seorang Marco Kartodikromo. “Sair Rempah-Rempah” tidak saja menuntut apa yang seharusnya dilakukan oleh warga pribumi sebagai kelompok minoritas yang terasing di antara ragam penderitaan, tetapi juga mewakili suara-suara lain dari kaum pemuda di masa itu yang ingin menyuarakan kritiknya terhadap pemerintah dan orang-orang di sekeliling pemerintahan yang masih terjebak dalam gelimang keserakahan.

Kemelaratan dari orang-orang pribumi menyebabkan kesengsaraan yang ditimpakan pada mereka kian bertambah dan mempersulit keadaan. Mas Marco merekam protes nurani mereka yang terbungkam melalui salah satu puisinya,


…”Manusia memeras bangsanya

Dipandang lazim seluruh dunia

Siapa tidak melakukannya

Menjadi orang hidup sengsara..”

(Tabiat Apakah, hlm.133)


Kolonialisme yang menjadi praktik menahun di hampir segala wilayah Nusantara menyebabkan nurani kehilangan akal sehatnya. Orang-orang pemerintahan, yang semula bekerja dengan penuh ketaatan kepada rakyat jelata, justru menjadi individu pemeras yang secara tak langsung menghancurkan mental inlander di tanah air, sebagaimana yang disitir Mas Marco dalam bagian puisinya yang lain,


..”Kalau orang yang ada di bawah

Selalu dia rajin menyembah

Pada dia yang dipandang Lurah

Si orang tinggi bertambah congkah..”

(Tabiat Apakah, hlm. 134)


Mentalitas yang terpuruk ditambah adanya “si orang tinggi/bertambah congkah” menihilkan upaya perlawanan di sebagian kaum inlander yang tertindas. Mereka dipaksa untuk menyembah-nyembah dan memohon kepada orang-orang di pemerintahan Hindia Belanda agar hidupnya tidak lagi berada di strata terbawah. Kekerdilan mental menyebabkan kaum inlander sulit bangkit dari penjajahan dan berakibat pada kekacauan yang lebih fatal, yakni bertambahnya nilai-nilai keterjajahan dalam diri mereka yang tertindas sehingga sekadar melawan pun tidak ada upaya sama sekali.


Momok kesuraman dan ketertindasan dari sebuah bangsa dengan jumlah penduduk terbanyak semakin membuat orang-orang yang berada di pemerintahan Hindia Belanda kegirangan. Sementara puisi-puisi Mas Marco terus menyuarakan semangat untuk berjuang dan memerdekan diri dari keterpurukan mental akibat penindasan yang dilakukan pihak Hindia terhadap orang pribumi. Perlawanan sebagian kecil digalakkan, tapi belum menunjukkan upaya yang begitu berarti. Dengan ketegasannya, Mas Marco kembali bersuara melalui puisinya,


..”Bila kita ada perasaan,

Seperti orang yang ada iman,

Tentu tidak suka tindas-tindasan,

yang membikin alam tidak aman..”

(Tabiat Apakah, hlm.134-135)


Puncak dari ketakutan bangsa ini ketika kolonialisme semakin merajalela hampir di seluruh kawasan adalah tidak adanya nilai iman yang tertanam. Jika memang iman tersebut tertanam dalam diri kaum Inlander, mereka “tidak suka tindas-tindasan” terhadap sesama pribumi sendiri, “yang membikin alam tidak aman.” Apa yang disitir Mas Marco melalui puisi-puisinya tentu adalah kritik terhadap kaum bangsawan Hindia Belanda atau pun para petinggi-petingginya yang berasal dari kalangan pribumi sendiri, namun justru menghormat penuh pada Hindia dan bekerja setia untuk kolonialisme yang diusung dalam pemerintahan. Kelicikan, tipu daya, dan ambisiusitas menyebabkan banyak dari mereka gelap mata, hingga menghalalkan segala cara.


…”Raja sekarang sama memfitnah

Kepada rakyat yang amat lemah

Dia mengaku walinya Allah

Maar! Sesungguhnya mengisap darah..”

(Tabiat Apakah, hlm.136-137)


“raja” dalam petikan larik puisi tersebut berkonotasi terhadap pihak-pihak pemerintahan kolonial yang cenderung menghalalkan segala cara. “raja” tidak peduli, apakah ia bekerja dengan memfitnah kawan-kawan sesama petingginya sendiri, ataukah harus menghasut pekerja-pekerja rendahannnya. Semua upaya dilakukan “raja”, termasuk “mengisap darah” kaum inlander. Yang dimaksud dengan mengisap darah di dalam larik puisi itu memiliki konotasi dengan merampas hak milik warga jelata dan memakannya dengan sepenuh keserakahan. “raja” yang mengaku walinya Allah, justru berkhianat terhadap ucapannya sendiri. “raja” ingkar terhadap pengakuannya dan memilih khianat terhadap apa yang sudah diakuinya kepada khalayak luas. “raja” menjadikan pengakuan palsunya sebagai topeng agar kekuasaannya langgeng hingga ke puncak jaya, meski di sisi lain ia menjadi dibenci oleh orang-orang yang dinamakan sebagai kaum Inlander. 


..”Berapa raja yang tidak begitu!

Barangkali tidak ada satu!

Hal ini banyak orang yang tahu.

Raja itu banyak yang menipu..”

(Tabiat Apakah, hlm.137)


Kedudukan, tahta, dan apa pun namanya telah melanggengkan keserakahan sebagai penguasa mutlak dalam diri seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang mengaku raja dan dapat mengayomi masyarakatnya justru jatuh sebagai sosok penipu yang mengobral sumpah serta janjinya di hadapan publik. Kebanyakan raja/pemimpin terlalu banyak mengobral ucapannya sehingga ketika sudah merebut bangku kekuasaan ia justru menipu banyak orang dengan sumpah dan pengakuan yang diucapkannya sebelum ia menjadi penguasa. 


..”Orang yang kaya,

Orang berpangkat atau Raja,

Dia orang kotoran dunia,

Menindas sesamanya manusia..”

(Tabiat Apakah, hlm.137)


Ketika kekuasaan dipegang oleh seorang pemimpin yang penuh dengan tipu daya dan janji palsunya, maka jadilah ia “kotoran dunia/menindas sesamanya/manusia”. Nilai-nilai kepemimpinan dalam dirinya pun sudah barang tentu akan melenyap dan tidak lagi menyatu dalam keseharian. Seorang pemimpin yang telanjur menjadi “kotoran dunia” bakal terlupa dengan segala tutur manis sumpah dan apa yang dilantangkannya sebagai janji kepada rakyat, hingga berimbas pada kesengsaraan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh banyak pihak, terutama rakyat yang telah ditipu dengan iming-iming sumpah dan belenggu janji. 


..”Orang baik selamanya melarat

Sebab tak suka pat pat gulipat

 Mencari asli mandi keringat

Rajin bekerja sampai sambat..”

(Tabiat Apakah, hlm.137)


“orang baik” berbeda dengan raja/pemimpin yang cenderung menipu dengan sumpah-sumpahnya. “orang baik” yang disitir oleh Mas Marco bukan sekadar orang yang mengabdikan hidupnya pada agama lalu dicap sebagai orang baik, melainkan seorang individu atau sekumpulan orang yang “tak suka pat pat gulipat”, yang dalam penafsiran luar dapat diartikan sebagai golongan yang tidak suka “menjilat” pemimpin. “orang baik” yang digambarkan Mas Marco adalah sosok yang tekun “mandi keringat/rajin bekerja sampai sambat”. “orang baik” bukan semata-mata orang yang bekerja dengan banyak bicara dan menipu sana-sini, melainkan rela bermandi keringat hingga bekerja sampai titik terakhir pencapaiannya, bahkan mungkin lebih dari sekadar itu. 


Melalui puisinya yang berjudul “Tabiat Apakah”, Mas Marco mengajak kaum inlander untuk merenung ke titik hening dan membaca tipe-tipe pemimpin yang bertingkah layaknya raja. Raja dalam artian puisi tersebut tentulah bukan sebatas raja yang tergambar dalam cerita-cerita lawas, melainkan sosok ambisius yang menghalalkan segala cara hingga membuat banyak orang sengsara dan jatuh dalam situasi penuh penindasan. Upaya pemberontakan yang dilakukan kaum Inlander menjadi sia-sia belaka di masa tersebut karena mentalitas kebangsaan dalam diri mereka belum sepenuhnya matang dan lepas sebagai uneg-uneg manusia merdeka. “Sair Rempah-Rempah” adalah bagian dari kejengkelan seorang pengarang yang turut andil dalam upayanya melakukan perlawanan tak tanggung-tanggung. Melalui tenaga bahasa dan kata-kata yang dipilih dengan cermat, “Sair Rempah-Rempah” telah menjadi teks multidimensi yang menggambarkan zaman carut-marut dan dapat pula ditafsir secara lebih luas sebagai upaya seorang Marco Kartodikromo dalam memutus rantai kolonialisme di tanah airnya. Sebagai warga kebangsaan yang baik, Mas Marco tidak ingin mentalitas perlawanan yang diusungnya menjadi padam dan terkubur di antara riuh artefak bersejarah, dan dengan diterbitkannya sejumlah puisi yang ditulisnya sebagai bentuk perlawanan kaum Inlander, cukup mewakili benak warga jelata yang terus dirongrong oleh penindasan demi penindasan hingga hari ini. Apa yang kemudian waktu muncul setelah periode Mas Marco usai dan zaman berganti dengan hadirnya sejumlah karya-karya sastra yang juga mengusung nafas kritik serupa, apakah teks “Sair Rempah-Rempah” tetap mendapat sebuah wadah pembacaan di khalayak yang penuh pola pikir urban? Jawabannya tentu saja bisa asalkan teks tersebut tetap dicetak secara lebih massif dan disebarluaskan ke banyak orang, mulai dari kaum pelajar, mahasiswa, tukang becak, karyawan, pegawai negeri, hingga seorang kepala negara yang memegang penuh tampuk kekuasaan sebuah bangsa dengan jumlah penduduk yang sangat besar: Indonesia.

 

Teks “Sair Rempah-Rempah” juga diisi dengan satu puisi yang tetap mengusung kritik terhadap kolonialisme, namun dikemas dengan unsur romantisme. Puisi tersebut kemungkinan ditulis Mas Marco untuk seorang perempuan anak penguasa setempat yang sempat ditaksirnya. Semacam cinta tak berbalas. Melalui puisi ini, otokritik terhadap kesimpang-siuran zaman tetap diusung Mas Marco, hanya saja bahasanya lebih tertata dan sebagian darinya mengandung nuansa estetik yang cukup kentara. 


..”Jawiyah seorang dara manis

Terlalu kaya emas dan picis

Rupa molek tabiatnya manis

Murah hati, juga tidak bengis


Banyak orang yang menaruh cinta

Pada Jawiyah yang masih dara

Meski dia anak kromo desa

Semua orang tergila-gila..”


(Jawiyah, hlm.161)


Dari gambaran puisi tersebut, sosok “Jawiyah” digambarkan sebagai seorang perempuan manis yang hidup dalam gelimang kekayaan, “terlalu kaya/emas dan picis”, Jawiyah yang dihadirkan Mas Marco dalam puisi ini bukan sekadar perempuan ayu yang menonjolkan segi kebangsawanannya, tetapi juga perempuan yang menjadi dambaan setiap orang, meski Jawiyah “anak kromo desa/semua orang tergila-gila.”. Selain kekayaan material yang didapat dari ayahnya yang kromo desa, Jawiyah juga dikaruniai kekayaan yang bersifat ilahiah, di mana kekayaan tersebut berupa hal metafisis yang ditafsir melalui petikan larik berikut


..”Jawiyah memakai tali pinggang

Dari zamrud yang amat terang

Siapa yang kasih itu barang?

Tuan Allah yang terlalu sayang..”

(Jawiyah, hlm. 161)


Tali pinggang dalam larik tersebut bisa ditafsirkan sebagai tali pusar pada bayi-bayi yang lahir secara umumnya, atau bisa juga merupakan metafor simbolis dari pemberian metafisis dari dzat ilahi yang berusaha dimunculkan Mas Marco dalam puisinya tersebut. Jawiyah, yang menjadi dambaan setiap orang karena kilau pesonanya bukan lagi sekadar antitesis dari kemapanan ningrat perempuan-perempuan yang hidup pada zaman kolonial, melainkan deskripsi gender yang mewakilini nilai-nilai feminimitas di masa itu dan puisi memotret hal-hal yang tersembunyi dalam “aku-lirik Jawiyah” yang dihadirkan Mas Marco melalui puisinya. “zamrud yang amat terang” dalam petikan larik puisi bisa saja menjadi luas ranah tafsirannya karena apa yang mewujud sebagai bahasa konkret adalah apa yang dipotret dari realitas seorang pengarang, meski realitas yang digambarkan kembali oleh seorang pengarang bisa berubah dan menjadi luas maknanya di dalam sebuah dunia baru bernama teks sastra. 


Jawiyah sebagai “aku-lirik” yang hadir dan mewakili perspektif feminitas pada masanya besar kemungkinan merupakan wujud dari manifestasi nilai keberagaman sudut pandang perempuan di masa lalu yang masih menjunjung tinggi strata eksistensialnya di muka bumi sebagai pesona agung yang tak mungkin dilewatkan dari potret sejarah sebuah bangsa yang belum sepenuhnya mampu menjadi manusia yang melenggang bebas. Jawiyah, dengan “tali pinggang” nya sebagai metafor simbolik dan perwakilan sebuah realitas yang penuh kilau mampu memperdaya banyak orang dengan perangainya yang anggun. Jawiyah yang dalam perspektif Marco Kartodikromo bisa saja menjadi bias jika ditafsir dengan perwajahan nilai kefeminitas-an pada hari ini. Perempuan hari ini, andaikata mereka membaca puisi Jawiyah dan menelaah kandung maknanya secara lebih jauh, maka akan tersibak nilai-nilai kultural lainnya dari sosok “aku-lirik Jawiyah” yang terus-menerus membaca zaman dengan persilangan kilau tak kunjung redup, tak mau padam.



 Realitas-realitas yang dimunculkan Mas Marco melalui kumpulan puisinya, “Sair Rempah-Rempah”, sudah menjadi milik semua orang. Artinya, pengarang sebagai individu yang mewakili suara zamannya sudah bergerak dan melesat cepat melampaui generasi ke generasi, sehingga siapa pun yang membaca buku tersebut hingga hari ini akan menemu benang merah dari representasi dan makna dari sebuah ketertindasan dan upaya perlawanan yang dilakukan para pengarang bukan sekadar omong-kosong dalam teks sastra yang ditulisnya. Sastra menjadi senjata perlawanan yang mampu membungkam ketidakadilan, sekaligus menguak realitas senjang yang pernah menjadi pemicu pertentangan antar-golongan dan kelompok-kelompok heterogen di masa lalu.


#BuahTanganPenakota

#UlasBukuDapatBuku


12 Feb 2021 18:51
579
Surabaya City, Jawa Timur, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: