tulis aku sebagai maut yang menulis jalan petang, rima cahaya
baris resah menyulam bayang rindu, menggigil segigih-gigih tamsil
rumah terakhir martir, diboyong kepala-kepala hilang igauan
mimpi seolah batas dari cemas, kita hanya bagian dari adegan sebuah karma
di jalan-jalan menghitung nol, cinta yang getol, berujung lagu sumbang seorang penyair
yang menulis kekasih di koran pagi, mendapat honor setimpal, diberi tepuk tangan riuh
dari netizen, yang kadang menggerutu mendapati puisi jelek, puisi sampah, puisi jalanan
berkibar-kibar rima mengepang rambut raya, lelampu kota-kota, mencatat sudah berapa musim
setiap penyair hidup dan tumbuh dalam nama-nama ibu mereka, mengeja makna yang lepas
sengaja dilepaskan semata-mata terharu membaca melankoli sajakmu, seakan tak pernah hapus
masa lalu, menggambar petang, titik nol kematian, amsal bagi karma yang berulang-ulang lahir
dan tak cukup bergegas kita menyusun parade terakhir maut di jalan kota
: serupa musim-musim mencumbu bibir
banjarbaru, juli 2019