GAYAHIDUP
10 May 2019 13:18
1687
Cinderella Complex dan Fenomena Nikah Muda

Penakota.id - Saya pikir setiap warganet yang sedang asyik berselancar di dunia maya barangkali akan mengalami peristiwa tersesat pada sebuah situs maupun sebuah akun yang mengiklankan nikah muda. Papan iklan digital tersebut berupa narasi panjang (biasa ditemukan di grup WhatsApp dan Line), ada yang berupa foto dan video (biasa ditemukan di Instagram dan YouTube), dan ada pula yang berupa gabungan antara narasi panjang dengan foto atau video (biasa ditemukan di Facebook). Maraknya frekuensi warganet yang tersesat pada papan iklan digital tersebut akan menimbulkan reaksi beragam berupa: benar sekali! atau benar-benar keliru!

Papan iklan digital tersebut dan reaksi warganet yang mengafirmasi isu menikah muda ini perlu mendapat sorotan. Pertama, papan iklan digital tersebut perlu mendapat sorotan sebab mengandung konten persuasif yang mudah menggiring opini orang yang melihat dan membacanya. Konten yang dimuat berupa foto pra-wedding pasangan selebgram sedang berpose memamerkan kemesraan dengan caption persuasif, semisal “menikah itu enak lho!”, atau berupa narasi panjang yang selalu diiringi oleh potongan biografi tokoh agama yang menikah muda dan dalil-dalil ayat kitab suci sebagai dalih justifikasi.

Premis urgensi menikah muda yang terus-menerus disuarakan berhasil mentransformasi hukum menikah muda yang semula merupakan anjuran menjadi sebuah kewajiban. Bahkan di sejumlah media sosial marak bermunculan tagar Indonesia tanpa pacaran, sebagai bentuk ekspresi dukungan penuh terhadap premis urgensi menikah muda. Problem ini semakin diperparah oleh poin yang kedua, yakni banyaknya reaksi warganet yang mendukung opini menikah muda dengan mudah.

Reaksi warganet yang mendukung premis urgensi menikah muda memiliki faktor beragam, umpamanya faktor adat istiadat, mode dan tren, serta faktor agama. Terlepas dari apapun faktornya, yang menjadi poin masalah adalah sikap warganet yang tidak mengkaji lebih jauh kelebihan dan kekurangan praktik menikah muda. Jumlah warganet yang langsung menelan bulat-bulat konten papan iklan digital tersebut terlampau banyak. Sikap warganet yang demikian membuat papan iklan digital yang memuat konten menikah muda seolah telah menggaungkan propaganda Nazi yang berbunyi: “kekeliruan yang terus-menerus dikatakan akan menjadi kebenaran”.

Hal ini didukung oleh data dari Hasil Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SKDI) pada 2008 hingga 2012 yang menunjukkan ada 340 ribu kasus pernikahan anak (di bawah usia 18 tahun) per tahun. Survei UNICEF menunjukkan bahwa tradisi, agama, kemiskinan, ketidaksetaraan gender, dan ketidakamanan karena konflik adalah alasan utama tingginya jumlah perkawinan anak-anak di Indonesia.

Barangkali tepat dikatakan “keliru” sebab praktik menikah muda mengindahkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) Tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan anak yang banyak ditentang oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sipil. Pada akhir 2018, Mahkamah Konstitusi menyetujui permohonan revisi UU tersebut sebab batas usia perkawinan anak dinilai menimbulkan kemaslahatan. Batas usia menikah yang semula 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan akan direvisi menjadi 20 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Alasan utamanya adalah UU tersebut mencederai UUD 1945 yang member hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan 9 tahun. Alasan lain adalah belum matangnya fisiologis (organ reproduksi) dan psikis anak pada usia demikian. 

Alasan belum matangnya organ reproduksi didukung data dari Kementerian Kesehatan yang menunjukkan angka kematian ibu di Indonesia karena melahirkan, kehamilan, dan nifas terus mengalami peningkatan yaitu  4.525 kasus pada 2014, 4.890 kasus pada 2015, dan 4.912 kasus pada 2016. Sedangkan menurut Survei Penduduk Antar Sensus 2016, angka kelahiran ibu mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kelahiran balita 22 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini termasuk yang tertinggi di antara anggota Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN).

 

Dampak Iklan Menikah Muda terhadap Psikis Remaja

Papan iklan digital dengan konten menikah muda yang masif dikampanyekan memengaruhi psikis warganet pada usia remaja dalam lingkungan masyarakat heterogen dan terbuka. Suguhan unsur visual yang persuasif dan embel-embel ayat kitab suci semakin membuat “laris” iklan tersebut. Warganet meyakini bahwa premis urgensi menikah muda adalah benar, sehingga menimbulkan dorongan untuk mewujudkan praktik menikah muda. Akan tetapi sebagaimana yang telah disebutkan di atas, cukup banyak warganet yang memiliki dorongan untuk menikah muda tidak dibarengi dengan bekal mental, pengetahuan, pengalaman, dan materi yang memadai. Kurangnya bekal tersebut menyerang kondisi psikis kawula muda yang belum matang, terutama perempuan. Dampaknya adalah muncul problem psikologis mutakhir yang diberi nama cinderella complex.

Istilah cinderella complex pertama kali dikemukakan oleh Collete Dowling pada tahun 1981 melalui bukunya yang kemudian dialihbahasakan oleh Santi W. E. Soekanto pada tahun 1989 berjudul Cinderella Complex: Ketakutan Perempuan akan Kemandirian. Gagasan ini muncul berdasarkan pengalaman pribadinya, sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang psikiater, dalam menangani perempuan-perempuan yang mengalami ketergantungan berlebih. Menurut Dowling, kecenderungan perempuan akan ketergantungan tersembunyi dan terkubur dalam alam bawah sadar.

Dowling mendefinisikan cinderella complex sebagai sebuah jaringan sikap dan rasa takut akan kemandirian yang membuat psikis perempuan tertekan (insecure). Definisi mandiri yang dimaksud Dowling adalah kemauan untuk mengeksplor potensi diri, kemampuan bergantung pada diri sendiri, pemahaman kapasitas diri, dan kemampuan mengolah potensi diri menjadi sebuah keuntungan.

Perasaan takut akan kemandirian yang dialami perempuan mengakibatkan perempuan tidak berani memanfaatkan sepenuhnya kemampuan otak dan kreativitasnya. Sebagaimana tokoh Cinderella dalam cerita rakyat, perempuan memilih jalur alternatif dengan cara menantikan seorang pangeran yang akan menyelamatkan dirinya dari kesengsaraan dan ketidaknyamanan. Dowling menjelaskan cinderella complex muncul dalam bentuk keinginan yang mendalam untuk dirawat dan dilindungi oleh laki-laki.

Perasaan takut dan cemas yang dialami perempuan tersebut mengakibatkan timbulnya kebutuhan psikologis untuk menghindari kemandirian dan keinginan untuk diselamatkan. Perempuan meyakini bahwa dirinya tidak bisa berdiri sendiri, terlalu rapuh, terlalu halus, dan membutuhkan perlindungan. Ideologi feminitas seperti ini yang menyebabkan perempuan mencerap status inferior mereka.

Ideologi feminitas ini pula yang dimunculkan pada psikis perempuan muda akibat papan iklan digital yang memuat konten menikah muda. Perempuan-perempuan muda yang masih berstatus pelajar akan memiliki dorongan untuk menikah muda tanpa menyiapkan bekal dan mengabaikan potensi diri yang dimilikinya. Pilihan tersebut tanpa sadar membuat perempuan memiliki beban status sebagai ibu rumah tangga pada usia muda dan menghilangkan potensi untuk mengembangkan dirinya. Baik potensi itu untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi maupun untuk berkarier.

Baca juga: Tradisi, Salah Satu Gembok Pernikahan Dini

Upaya-Upaya Tandingan

Alih-alih mengkampanyekan konten progresif agar kawula muda semangat mengembangkan potensi diri, iklan nikah muda justru mengandung konten yang destruktif dengan cara menghentikan kemauan mengeksplor dan mengembangkan potensi diri. Iklan nikah muda yang dijustifikasi oleh balutan agama maupun budaya telah mempraktikkan pemujaan nilai-nilai dominan patriarki. Hal ini yang membuat perempuan makin mencerap status inferior.

Dowling mengatakan bahwa dampak perempuan mencerap status inferior mereka adalah sebab pola asuh yang salah, lingkungan yang toksik, dan asupan nutrisi pengetahuan yang keliru. Sebab itu, upaya-upaya tandingan diperlukan agar mengurangi jumlah kawula muda, terutama perempuan muda, terjebak pada konten yang destruktif pada diri sendiri.

Pertama. Pola asuh yang salah adalah sebab orang tua mentransformasikan nilai dan moral dalam agama yang ditafsirkan secara patriarkis. Sedangkan alasan yang paling mendasar orang tua mentransformasikan nilai tersebut adalah sebab mereka adalah produk budaya. Oleh karena itu, orang tua perlu memiliki bekal wawasan yang baik. Pengetahuan cara asuh yang tepat dapat diperoleh melalui pendidikan parenting sebelum menikah atau sebelum memiliki anak.

Pola asuh yang tepat diberikan orang tua adalah mendukung potensi diri anak serta memberikan kebebasan anak untuk memilih mengembangkan potensi diri anak. Orang tua juga harus memberikan pengetahuan tentang menikah yang baik, semisal bekal yang perlu dipersiapkan, batas usia, dan sebagainya. Dampaknya adalah kawula muda, terutama perempuan, memiliki kendali diri terhadap konsumsi iklan menikah muda yang adiktif dan masif disuarakan di media sosial.  

Kedua. Lingkungan sosiokultural yang toksik adalah, lagi-lagi, sebab pemujaan terhadap nilai dan moral agama yang ditafsirkan secaara patriarkis. Praktik poin yang kedua ini adalah beragam bentuk shamming yang diwujudkan dalam ucapan “lihat si anu sudah menikah, kok kamu belum?”, “lihat anak Ibu anu sudah punya suami dan anak, kamu?”, dan sebagainya.

Praktik tersebut menunjukkan bahwa lingkungan sosiokultural yang toksik baru mengakui kedirian seseorang hanya pada capaian seksualitasnya. Peran orang tua sebagai lingkungan pertama seorang anak sangat vital. Pemberikan lingkungan yang sehat menjadi anugrah untuk seorang anak mawas diri terhadap lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga sehingga anak lebih selektif memilih lingkungannya yang kedua.

Terakhir, kawula muda musti mendapat pengetahuan yang benar tentang nilai dan moral melalui pendidikan. Lingkungan pendidikan yang terbuka memberikan kesempatan berpikir yang benar dan kritis. Kawula muda, terutama perempuan, yang mendapat asupan nutrisi pengetahuan yang benar akan mampu mengembangkan potensi dirinya dengan sikap produktif menekuni suatu bidang disiplin ilmu dalam upaya untuk meningkatkan kualitas diri. Perempuan yang berdaulat atas dirinya sendiri inilah yang kemudian disebut mandiri.

 

Editor: Galeh Pramudianto