NASIONAL
23 Dec 2018 12:00
890
Ibu, Instrumen Penting Menepis Dampak Negatif Digital Bagi Anak

Penakota.id – Alunan melodi dan nyaringnya resonansi Nina Simone terdengar sublim dalam telinga Sir Pentoel sore itu. Iramanya menutupi gemercik air mancur di latar sebuah kedai Jeruk Purut Dalam, Jakarta Selatan. Sir amat menikmatinya. Tidak ada rasa terganggu sama sekali dalam hati Sir, apalagi melodi dan suara Nina amat membantunya membunuh teriakan-terikan kendaraan di jalan.

Sir memang sangat membenci kebisingan yang kerap dilahirkan mobil dan motor. Baginya, kadang kala nyaring suara itu lebih-lebih mengesalkan daripada suara lalat yang terdengar ketika dekat dengan liang telinganya. Kadang kala, jika ia berada di jalan tubuhnya menjadi gemetar, suhu badannya mendingin, dan wajahnya pucat pasi. Oleh sebab itu, selalu ia menyiapkan pelantang telinga agar ia dapat membunuh keadaan itu dengan cara mendengarkan lagu-lagu di dalam gawai yang ia miliki.

Sejujurnya ia lebih menyukai lagu-lagu. Entah apa yang ia alami, lagu-lagu akan menyelamatkannya daripada keadaan menakutkan yang sesekali ia dapatkan saat mendengar nyaring suara mobil dan motor. Walaupun ia sejatinya merupakan pengguna motor, entahlah.

Sore itu ia abai membawa pelantang telinganya. Saat keadaan yang ia takutkan itu mulai muncul menghantuinya, buru-buru ia kebutkan motornya lantas mencari perlindungan. Ia singgah ke sebuah kedai yang cukup strategis di daerah yang sedang ia lewati. Sesegera ia memarkirkan motor dan berlari ke dalam kedai yang lumayan besar itu.

Di dalam kedai, ia menjadi lega. Apalagi keadaan kedai yang ia singgahi cukup sepi dan meneduhkan. Suasana yang hangat, bau biji kopi tambah-tambah menjadikan hatinya teduh pula. Sebelum ia memesan, ditariknya panjang-panjang nafas. Sementara tangannya saling mengusap, dan kedua matanya juga ia pejamkan.

“Birds flying high, you know how I feel. Sun in the sky, you know how I feel. Breeze driftin' on by, you know how I feel,” sekejap terdengan sebuah lagu yang begitu ia kenal, Feeling Good dari Nina Simone.

Sontak ia pun bernafas lega. Senyuman kecil pun terbingkai dalam bibirnya. Sir membuka matanya pelan-pelan dan mulai  melihat sekeliling. Saat ia menghadap kepada meja bar, seorang penjaga bar tersenyum kepadanya. Seolah-olah penjaga itu tahu betul apa yang sedang Sir butuhkan.

Si penjaga menuju tempat di mana Sir Pentoel duduk. Satu buku menu pesanan ia genggam lantas Sir ditawarkan menu-menu yang termaktub pada bukunya. Sore itu, Sir hanya ingin menghangatkan tubuhnya dengan segelas earl grey tea. Ia memesan kepada si penjaga dan si penjaga menyambutnya dengan ramah.

Akhirnya Sir betul-betul menemukan ketenangannya di sana. Namun, demi menyelamatkan keadaannya dalam perjalanan pulang nanti, Sir pun menghubungi satu stafnya di Penakota.Id untuk membawakan pelantang telinga yang tertinggal. Sambil menunggu, ia membuka komputer jinjingnya untuk membaca apapun yang menarik yang hendak ia temukan.

Seiring aktifitasnya membaca beberapa berita terkini di beberapa media yang selalu menjadi rujukannya, tetiba nada dering gawainya berbunyi. “Adikku melanggar hukum. Aku yang menjadi saksi. Paman penuntut umum. Ayah yang mengadili. Walau ibu gigih membela, yang salah diputus salah.”

Awalnya Sir tidak ingin mengangkat panggilan telepon dari gawainya itu. Namun karena panggilan yang notabenenya datang dari nomor yang ia tidak ketahui tersebut terus menerus hadir, mau tidak mau ia harus mengangkatnya.

“Halo, dengan Sir Pentoel, boss besar di sini,” ungkap Sir sebgaiamana biasa ia mengangkat panggilan telepon.

“Halo, dengan KPAI?” jawab sekaligus tanya seseorang yang diketahui adalah wanita di balik panggilan tersebut.

“Ha? Apa?” jawab Sir sambil sontak tertegun.

“Iya. Apa betul saya bicara dengan komisioner KPAI?” tanya wanita itu kembali.

Dahi Sir mengerut saat mendengar pertanyaan wanita tersebut. Dalam hatinya, ia mempertanyakan darimana wanita itu mendapatkan nomor telepon genggamnya dan menganggapnya seorang komisioner suatu lembaga perlindungan anak. Sir pun lantas mempertanyakan hal tersebut dan kemudian wanita itu menjawab, bahwa ia mendapatkan nomor Sir dari tetangganya.

Ketika wanita tersebut memberitahukan siapa tetangganya itu, Sir pun tidak merasa mengenalinya. Kendati itu, panggilan tersebut bukanlah panggilan salah sambung. Pasalnya wanita tersebut pun mengetahui bahwa pemilik dari nomor itu adalah Sir Pentoel. Ia menceritakan, bahwa ketika ia hendak menghubungi beberapa komisioner KPAI, mereka tidak mengangkatnya. Hanya Sir yang mengangkat panggilan wanita tersebut.

“Hanya bapak yang mengangkat. Tolong Pak, saya hanya ingin curhat. Jadi saya ini merasa gagal menjadi seorang ibu. Saya memiliki seorang anak, dan sekarang ia malas belajar. Ia hanya bermain gim di gawai saja. Saya bingung bagaimana menghadapinya, sebab jika saya ambil itu gawai, dia kencang menangis. Saya takut anak saya terpapar hal yang tidak-tidak, pornografi misalnya, berita bohong, dan ikut-ikutan dalam menyebarkan ujaran kebencian. Oh iya, anak saya sekarang berusia 11 tahun, tolong bantu saya, beri saya masukan Pak,” tutur wanita tersebut.

Sir bingung bukan main. Ia pun gamang ketika ingin menutup atau mengabaikannya. Tapi, Sir juga bukanlah seorang yang pakar akan hal itu. Sir mengira wanita tersebut hanya dikerjai atau mungkin tetangganya salah mengira Sir, bahwa Sir bukanlah seorang komisioner atau pun pakar dalam hal anak.

“Begini Bu, maaf sebelumnya. Mungkin Ibu salah mengira akan profesi saya. Saya ini bos startup, Bu. Bukan pakar anak. Tapi mungkin ini dapat membangtu ibu, saya pernah mendengar pendapat pakar tentang hal ini. Dan saya rasa ada korelasinya dengan keadaan yang ibu alami,” kata Sir kepada wanita itu dengan ramah.

Ya, untunglah Sir merupakan sosok yang cukup gemar membaca buku, berita, maupun ngepoin twitter orang. Jadi, untuk merespon racauan wanita tersebut, dan agar ia tidak sakit hati, Sir pun berusaha untuk menjabarkan sesuatu. Mulailah Sir memaparkan sesuatu yang hendak ia baca dan ia dengar dari rekan-rekannya yang sudah jadi orang.

Untuk wanita yang diketahui memiliki nama Titin itu, Sir memaparkan apa yang sempat disampaikan oleh seorang Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Edi Santoso.

"Beliau mengatakan, dalam konteks peran ibu, ibu sebagai pendidik harus ikut dan mampu mengarahkan pemanfaatan teknologi itu bagi anak-anaknya," kata Sir berusaha menginformasikan kepada Titin di balik telepon.

Kata Sir, Edi menuturkan, seyogyanya orangtua tidak perlu takut apalagi sampai antipenggunaan teknologi. Misalnya teknologi digital saat ini. Hal itu memang suda merupakan sebuah realitas zaman. Tidak perlu dilawan, hanya saja orangtua berperan dalam rangka untuk mengarahkan anak-anak mereka.


Edi, ungkap Sir, mengingatkan agar orangtua, khususnya seorang ibu, agar terus menumbuhkan daya imun pada anak dari kemungkinan paparan konten negatif gawai atau internet atau media sosial. Salah satunya melalui pembentukan karakter anak itu sendiri.

"Selain itu, kata dia, tumbuhkan daya imun anak dengan cara mendampingi mereka dalam pemanfaatan teknologi itu," tambah Sir.

Interaksi antara anak, orangtua, dan teknologi menurut Edi, lanjut Sir, sebetulnya bisa juga menjadi kesempatan yang positif untuk menumbuhkan literasi media. Momen untuk menumbuhkan pemahaman tentang realitas media secara konstruktif bagi anak-anak dapat dilakukan dengan beberapa metode. Misal ketika membuat konten vlog, anak disadarkan, beginilah media diciptakan. Ada peristiwa, fenomena, yang oleh jurnalis kemudian ditulis atau divisualisasikan menjadi sebuah berita yang disebarluaskan. Semuanya dapat diciptakan dengan acara edukasi daripada literasi media tadi.

Dengan demikian pada saatnya nanti, akan terbentuk kesadaran dalam diri anak, bahwa realitas dan berita itu dua hal yang berbeda. Anak menjadi tak mudah terprovokasi oleh isi media. Mereka akan jadi khalayak yang rasional.

Hanya bapak yang mengangkat. Tolong Pak, saya hanya ingin curhat. Jadi saya ini merasa gagal menjadi seorang ibu. Saya memiliki seorang anak, dan sekarang ia malas belajar. Ia hanya bermain gim di gawai saja. Saya bingung bagaimana menghadapinya, sebab jika saya ambil itu gawai, dia kejer nangis. Saya takut anak saya terpapar hal yang tidak-tidak, pornografi misalnya, berita bohong, dan ikut-ikutan dalam menyebarkan ujaran kebencian. Oh ia, anak saya sekarang berusia 11 tahun, tolong bantu saya, kasih saya masukan Pak

Peran Ibu Sekarang

Memang, dibeberkan Sir Pentoel kepada wanita tersebut, berbagai pakar mengungkapkan bahwa sosok ibu di era sekarang tengah menghadapi tantangan lebih dibandingkan sosok ibu di era sebelumnya. Ketika kecanggihan teknologi dan informasi tumbuh bak jamur disiram air, maka di situlah seorang anak betul-betul membutuhkan sosok ibu sebagai pendamping mereka.

Banyak pendapat mengatakan, selain positif, implikasi era digital dapat menjadi latar belakang peningkatan angka kejahatan. Aksesbilitas internet secara global dengan sangat mudah ditransformasikan ke dalam genggaman tangan seorang anak kecil melalui gawai.

Sir menganjurkan agar seorang ibu juga wajib harus melek teknologi informasi supaya tindakan proteksi terhadap anak dapat sedari dini mungkin dilakukan. Jangan salahkan siapa pun jika anak-anak dapat mengakses situs yang tidak cocok dengan umur mereka, hanya karena sosok ibu tidak memahaminya.

Selain membahayakan untuk perkembangan anak, seorang ibu juga hendaknya memperhatikan potensi kejahatan kepada anak mereka di era ini. Pasalnya, Sir melihat sosok ibu, khususnya ibu-ibu era ini dengan bangganya mengunggah anak mereka di media sosial. Padahal hal tersebut juga dapat memancing oknum untuk melakukan kejahatan pada anak-anak mereka sendiri.

Para ibu sekarang harusnya juga jangan terlalu sibuk dengan gawai. Hal tersebut bisa membuat anak mengikuti dan bisa juga menggunting waktu kebersamaan dengan anak mereka. Imbasnya, tidak ada waktu untuk memberikan pendidikan kepada anak karena kegiatan tersebut.

“Pada pagi hari hingga sore mereka sibuk bermain gawai, posting dan komentar tanpa memperhatikan waktu. Imbasnya malam hari mereka kelelahan. Makanya banyak ibu sekarang lebih menyerahkan pendidikan anak-anak mereka kepada pendidikan formal. Tentu hal ini disayangkan karena sosok ibu merupakan sekolah pertama bagi anak,” beber Sir.

Mendengar pemaparan Sir, wanita itu pun menangis. Tanpa pamit, wanita itu pada akhirnya memutuskan panggilannya. Setelah itu, staf Penakota.ID datang membawakan Sir pelantang telingannya.

(Penakota.ID - fdm/glp)

Sosok ibu di era digital seyogianya lebih cermat dalam memperhatikan anak. Hal tersebut agar tidak terpapar pada kondisi negatif yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang dan pola pikir anak.