Langit di atas Gaza
terlalu berat menanggung doa—
yang beterbangan tanpa sayap,
menabrak rudal, gugur
di pangkuan ibu yang kehabisan air mata.
Tanah retak memeluk jasad,
tapi langit tak sanggup memeluk
suara anak-anak yang diseret debu.
Mereka kenyang oleh tanya:
kenapa rumah tiba-tiba jadi liang?
Dunia hanya berdehem,
menyeka darah dengan resolusi basi.
Langit merintih di sudut kabut,
meminta pulang—
karena di bumi, pulang cuma mimpi
yang disambar dentum meriam.
Dan kita, yang menonton dari kursi hangat,
berdoa dengan kata-kata wangi
lalu tidur dengan perut penuh—
padahal di sana,
langit pun ingin pulang,
tapi pintu damai tak pernah benar-benar terbuka.