“Bagaimana perjalananmu berkuda?” tanyanya
Tak terlalu baik, maka semua manusia harus mati dan melayani
maka ini pelayananku untukmu, bahasa dari palagan peperangan:
Aku telah tiba di padang rumput tak terpermana, di tengah benua tak kukenal
aku berjalan dengan tubuh yang masih kupelajari, dari timur sampai timur lagi
berbahasa menggunakan senjata dan makan dari darah ke darah
Bertarung dengan pedang melengkung
juga busur besar dengan jangkauan panjang
semua dilakukan di atas kuda penuh ancang-ancang
Aku tidak mengenakan zirah, mengingat kebebasan begitu penting dalam pertempuran
dengan rambut kepang panjang, kekalahan adalah cabang memalukan
maka ketika rambut ini telah dicukur, aku tepekur
Salahku adalah membiarkan kuda tungganganku mengarungi bibir pantai
air asin meracuni kudaku, pemanah datang dan infanteri lapis baja menyerang
Aku dilahirkan, berkelahi, dan mati di atas pelana
aku melakukan ini semua untuk alasan-alasanku sendiri
di antara takhta kerajaan, kata-kataku lahir dari rahim belati
Karena kematian adalah sumber penghidupan
seperti derap seribu kuda di atas makam klan Khan
untuk mengaburkan dan mengalihkan pandang.
2019
Apakah dirimu bermimpi dalam bahasa mereka?
pagi ini aku terbangun di tubuh orang lain dan melihat dunia tak lagi sama
apakah dirimu meninggalkan rumahmu dan membangun koloni baru?
Bumi sudah terlalu usang dan sebentar lagi akan meledak menjadi debu
akan kuceritakan debu itu akan ke mana nantinya:
Sulur cahaya dari pohon mimpi memeluk tubuhku
Diterbangkannya aku di hamparan batu-batuan raksasa
yang melayang di udara dan memandang segala
Kristal waktu di planetku menyirapkan bungah
daun putri malu sigap menutup diri meski lepai dibuatnya
hewan-hewan dengan segala rupa ialah jembatan niscaya
Aku menghadap pada tanaman yang melayang-layang
dengan kelip cahaya di sekujur tubuh
ia membentuk wadaknya menjadi cermin
Kemudian kubertanya
“siapakah yang terindah dari ini semua?”
“debu dan segala muasal cerita!” jawabnya
Mula-mula debu itu seperti titik yang mengakhiri
Ia tidak membiarkan apapun dilalui tanpa kejelasan
hingga perlahan menggumpal jadi biji dan berhenti di pohon mimpi
Apakah dirimu telah jemu dengan buldoser dan proyek-proyek itu?
Tunggu dulu, jangan sela aku yang akan mengisahkanmu, sebentar saja
Setelah biji itu hadir, aku memungutnya dari tanah yang dulu tak pernah ada
Aku terbangun di tubuh yang tak pernah aku kenali dan aku sendirian di sini
Apakah dirimu bermimpi dalam bahasa mereka?
Ya, pada labirin dua dunia
Di antara mimpi dan cermin virtual
kini langit telah berpulun-pulun asap
kaumku bersama gendewa coba menghadang dan melesat
di antara bualan, penambangan dan penjajahan
demikian kabar sumir dari negeri nun kesekian.
2019
Koran Tempo, 21 September 2019