Bagaimana Sejatinya Seorang Guru Sekolah Mendidik Murid?
Berbagai kurikulum dibuat oleh pemerintah salah satunya untuk mengatur bagaimana pendidik memberikan pengajaran yang baik untuk peserta didik, yang terjadi di lapangan justru dalam beberapa obrolan yang saya lakukan dengan guru baik yang saya kenal maupun tidak, kurikulum tersebutlah yang menjadi keresahan bagi mereka? mengapa? apakah sejatinya seorang "guru yang baik" ingin sistem mengajar yang bebas dan tidak terkekang dengan pedoman mengajar yang ditetapkan pemerintah? seperti seorang guru ngaji bisa menciptakan murid-murid yang yang pintar mengaji dengan sistem pengajaran yang minim dari urusan-urusan rencana pembelajaran kedepan? apa sebenarnya yang diinginkan sebenarnya?
Mungkin ada faktor faktor tertentu bagaimana seorang guru bisa menciptakan murid yang berkualitas, mari kita pertanyakan tentang hal itu, murid berkualitas yang bagaimana? apa standar pendidikan yang menyatakan bahwa murid berkualitas itu harus seperti ini bukan seperti itu, patokan apa yang menjadi tolak ukur dari guru bahwa mereka telah menciptakan murid yang berkualitas? dalam pembahasan ini murid berkualitas saya asumsikan sebagai murid yang mampu menyerap apa yang disampaikan gurunya, bisa memahaminya dan bisa mengamalkan ilmu yang diserap dalam kehidupan berorganisasi ataupun pribadi sehari hari, karena itulah mungkin inti dari sebuah pembelajaran yang dilakukan di sekolah, dan guru yang saya maksud adalah guru di kisaran sekolah dari SD hingga SMA, untuk tingkat dosen keatas mungkin ada dalam pembahasan yang lain.
Berdasarkan pengamatan secara not knowing prespective, dalam artian bukan dari prespektif keilmuan manapun, hanya dari awam dalam menanggapi fenomena secara awam. Ada sebagian guru di Indonesia yang mungkin menganggap kegiatan belajar mengajar hanyalah rutinitas pekerjaan yang berulang ulang dan tidak perlu adanya inovasi lain dari cara mengajarnya. Seperti halnya guru masuk kelas, memberikan pengajaran, mengerjakan soal, diberi nilai, bersamaan dengan bentuk murid yang sebagian memperhatikan dan sebagian tidak, murid yang mengrjakan dan tidak, bagi murid yang memperhatikan pelajaran kemungkinan akan lupa dalam dua atau tiga hari jika tidak dicatat, dan bagi murid yang mencatat menjadi murid yang bergantung dengan buku catatannya dan kosong ketika tanpa buku tersebut. Guru mungkin tidak terlalu memikirkan hal tersebut karena mereka mungkin berpikir sudah melakukan tugas sesuai jobdesk.
"Yang penting kita sudah memberikan apa yang harus kita berikan! urusan mengerti apa tidak, urusan murid "
Oleh karena hal itu mungkin sebagian orang berpikir apa gunanya sekolah 12 tahun dari SD hingga SMA kalau hanya berisi kegiatan yang kurang produktif bagi kita sebagai siswa, karena bagi guru sendiri ruang kelas hanyalah "sarana mencari uang", bagi murid ruang kelas hanyalah tempat duduk dimana mereka mendengarkan omongan membosankan yang tidak menarik sama sekali.
Banyak siswa ketika menceritakan pengalaman tentang apa yang telah dialami di sekolah dulu justru menceritakan hal - hal yang diluar ruang lingkup belajar, bisa jadi cerita keseruan bersama teman - teman bermainnya dan mungkin sebagian bercerita tentang keorganisasian atau ekstrakulikuler yang mereka ikuti, dibanding bercerita tentang bagaimana mereka mendapatkan pembelajaran di dalam kelas atau pembelajaran apa yang didapat di dalam kelas, apakah se - membosankan itukah cerita di dalam kelas atau se- tidak menarik itukah pembelajaran yang diberikan. Apakah itu sebuah tanda bahwa ada yang salah ketika kegiatan belajar mengajar di dalam kelas? Apakah ada yang salah dari bagaimana guru memberikan pengajaran kepada murid? Apakah para murid muridnya yang tidak ingin belajar? dan hanya ingin bermain main? Bukankah murid adalah tanggung jawab guru sebagai orang tua di sekolah?
"Jadi kangen sekolah" ungkap seorang yang rindu ketika bermain bersama teman -temannya di sekolah, bukan ketika belajar di sekolah atau pelajaran apa yang dia dapat di sekolah.
Pembelajaran KBM dalam kelas berdasarkan keterangan di atas memiliki kekurangan yang membuat proses transfer ilmu itu menjad tidak efektif, metode pembelajaran teori dan tanya jawab dalam bentuk essai, dan pengerjaan soal soal di buku LKS hanya membuat murid dapat bisa menyelesaikan permasalahan tertulis, ketika dihadapkan oleh praktik lapangan para murid bisa jadi kelimpungan bahkan diam seribu bahasa, karena yang terjadi di lapangan bisa jadi berbeda dengan yang biasa ditulis di kertas, di lapangan bisa jadi lebih dari apa yang dipelajari teori, hingga banyak murid yang ahli dalam suatu hal justru bukan mendapatkan pengetahuannya dari belajar di sekolah, namun dari para praktisi yang dipilih murid dalam bidangnya yang dianggap lebih mampu menyelesaikan masalah dibanding belajar di sekolah.
Pembelajaran teori seharusnya beriringan dengan praktik lapangan atau persoalan yang terjadi di kenyataan, pembelajaran yang dilakukan seharusnya tidak sebatas di ruangan kelas yang dituntut kaku (duduk rapi dan memperhatikan ke papan tulis), sebagai contoh seorang guru ketika mengajarkan Matematika pembelajaran trigonometri sembari melakukan praktik di lapangan bagaimana dengan mengukur pohon atau gedung tanpa perlu sulit-sulit memanjatnya. Begitu pula bagi ilmu-ilmu non terapan seperti Sosiologi dan lain lain, bagaimana guru sosiologi menjelaskan akulturasi budaya dengan pendekatan seni atau melakukan pentas drama pendek, dibanding menjelaskan di kelas dengan suasana yang membosankan.
Justru ekstrakulikuler lebih menonjol dalam kegiatan transfer ilmu dari guru ke murid, dikarenakan pembelajaran dan praktiknya yang lebih pasti, seperti ekskul musik, karate, teater, multmedia dan masih banyak lagi lebih jelas dalam berpraktik dan menunjukan kebisaan murid, seperti contoh ekskul musik menampikan persembahan band yang dibentuknya bekerja sama dengan teater dalam menyajikan penampilan visual yang menarik, sebab itu banyak sekolah-sekolah yang lebih menunjukkan kepada ekstrakulikuler serta sarana dan prasarana penunjangnya dibanding menunjukkan bagaimana keunggulan mereka dalam belajar mengajar.
Jangan mengharapkan solusi dari saya sebagai "not knowing people", saya hanya menulis tentang apa yang saya rasakan dan mungkin orang lain juga ketika duduk di bangku sekolah, namun saya mengajukan bahwa guru yang seharusnya mengajar di sekolah tidak menganggap sepele murid-murid dan pengajaran yang diberikan kepada mereka. Guru yang mengajar selain harus ahli dalam bidang yang diampunya juga harus fleksibel dalam memberikan pembelajaran kepada murid yang beragam dan dinamis, dibanding guru yang kaku dan tidak menyesuaikan dengan murid yang diajarnya.
Saya bukan menyatakan sama rata bahwa semua orang yang menjadikan guru sebagai profesi atau rutinitas itu negatif, poinnya ketika si pengajar tersebut melakukan kegiatan belajar mengajar seperti menjalankan rutinitas keseharian dan mengajar hanya sebuah formalitas tanpa adanya inovasi untuk lebih menjadikan muridnya lebih baik dari hari demi hari, yang menjadikan perwujudan apatis dari seorang guru terhadap muridnya, yang menurut saya kerugian ditanggung oleh murid, sedangkan peran guru yang begitu penting dalam pembentukan generasi bangsa di masa depan.
Terlepas dari segala sisi negatif banyak pula guru yang berhasil menciptakan "siswa siswa yang berkualitas" yang saya maksud diawal, banyak juga guru yang bisa menempatkan dirinya sebagai "pengajar yang harus memberikan ilmu yang bermanfaat kepada para muridnya" dengan sepenuh hati, karena seharusnya profesi guru adalah sebuah pengabdian yang sangat berjasa bagi penentuan generasi bangsa dimasa depan, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Hormat penulis untuk para guru!