Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar. Semakin berupa-rupa saja macam kesadaran yang didapat anak-anak Pasingsingan Tua sepanjang periode pandemi Covid-19. Mereka amat sangat bersyukur karena keterkurungan hanya berlaku untuk aktivitas fisik, jasad, badan. Sementara akal, paradigma, dan nalar tetap bisa bebas berselancar seturut arah angin berhembus. Badan bisa terjangkit virus tetapi pengembaraan adalah sesuatu yang jauh lebih lembut, sehingga memuainya ilmu tetaplah sebuah keniscayaan hidup. Sekacau apapun kondisi dunia berjalan.
Itulah mengapa perilaku anak-anak Pasingsingan Tua makin hari makin aneh saja. Semakin terkurung, justru semakin liar. Cakil lagi suka pakai bahasa musik untuk menjelaskan hari-hari di tengah Pandemi.
"6 bulan sejak awal Corona manggon di sini ini, kita masih pakai ritme Boogie-Woogie untuk menghadapinya. Pating gruduk, gedabikan, njundal-njundal, nyar-nyur. Kurang terstruktur. Corona itu Ghost-Note, kalau cara membacanya terlalu cepat, dia lepas dari keutuhan pandang kita sebagai manusia, warga negara, atau sebuah bangsa. Mestinya kan kita bisa sedikit neo-soul seperti Melanie Faye atau Tom Misch, Diana Krall atau Daniel Caesar. Pelan tapi terpusat. Seluruh permasalah bisa kita rengkuh dengan kacamata paling bening. Atau kita pilih yang sedikit mengendap tapi dinamis kaya Mark Knopfler. Kalau sekarang tekanan poleksosbudhankam-nya sudah terlanjur 12 Bar, itu pun backing track-nya di C Kres Minor. Walah, apa tidak cedot lak-lakan kita? Padahal, kalau Indonesia mau, kita ini punya banyak cara untuk menembus dinding buntu, lho. Sayang, kita memang kurang terdidik untuk main Blues. Paling pol kita itu masyarakat Koplo, sekalinya bisa canggih EDM, kita memilih DJ Remix. Haaa, kalau begitu memang sepertinya lebih baik kita menjadi pecandu K-Pop, BOL4 itu sedikit-sedikit masih bisa dinikmati untuk melepas penat. Atau coba dengarkan 'Our Souls at Night'-nya Sondia yang jadi official soundtracknya Itaewon Class. Matikan lampu, lalu nikmatilah kesendirianmu di tengah dunia yang kegelapannya semakin menggumpal ini."
Bukan, Cakil bukan sarjana musik atau kritikus musik yang secara akademis benar-benar paham musik atau memelajari musik. Cakil cuma seorang bocah ingusan yang kebetulan terpaksa mendengarkan musik dari hari ke hari karena tidak terbebani oleh kewajiban untuk menghidupi siapapun selama lockdown pandemi.
Begitu pun anak-anak lain dengan 'genre' penghayatannya masing-masing selama ronde-ronde kritis Covid-19. Mereka semua terkunci dari rutinitas normal sebagai manusia sosial srawung-outdoorholic, tapi itu tidak berarti mereka mandeg untuk memuai. Serupa pemain Judo, semakin sering dikunci, semakin belajar caranya meloloskan diri, dan itu berarti semakin kaya kepandaiannya untuk 'escape from pressure'.
Kalau Mat Kolep karena lebih punya tradisi membaca karya-karya Sastra, jadi lebih memiliki jembatan asosiasi untuk membuang Corona ke dalam lubang-lubang kata, kolong-kolong frasa, atau ke celah-celah semiotika. Sesekali bikin puisi, sesekali mengolah prosa, walau tetap lebih sering nggerundelnya.
"Coba lihat Indonesia, semakin mirip Afrizal Malna: sulit dimengerti. Penuh oleh algoritma headline news, matematika yang absurd, teori-teori ludah dan gincu. Sebagian orang memilih meng-Abdul Hadi WM, sebagian lain jadi Sapardi Djokdam atau Subagio Sastrowardoyo, lihat hujan waktu pandemi langsung cengeng, lihat embun mengalir di jendela, bikin puisi. Ada seribu sastrawan yang ngangslupi roh kita saat ini. Ada Darmanto Jatman yang merasuk ke tubuh Pak Presiden, sukanya ndagel tidak jelas. Ada Wahyu Prasetya mengalir dalam darah netizen, apapun yang terjadi pokoknya misuh 'bangsat' dan 'bajingan'! Ada yang jadi Adonis, ada yang jadi Jokpin, ada yang jadi Goenawan Mohamad. Andaikan kita di Sarajevo, ya kena Covid juga! Yha."
"Hihi, lumayan," biasanya cuma respons singkat semacam itu yang Goplek lempar. Dia lebih kagum kepada Dul Kuntul yang super gaptek. Bagaimana tidak kagum, Dul Kuntul sekarang sudah bisa top-up Shopeepay (walau mesti berdebat secara konyol terlebih dahulu dengan kasir minimarketnya), sudah mengerti cara log-in Google Meet, pandai cari betina di Telegram. Bahkan kalau ada yang iseng bertanya tentang Pizza Gate kepadanya, Dul Kuntul bisa jawab sedikit-sedikit, setidaknya gambaran besar yang menghubungkan para gerombolan pedofil dengan konstelasi perpolitikan Negeri Paman Sam.
Tetapi Goplek punya penekanan yang cukup penting terhadap seluruh rangkuman fenomena yang ia tangkap dari para penghuni Pasingsingan Tua. Dan itu yang sebenarnya sedikit perlu untuk kita simak. Meskipun kita means cuma aku dan kamu. Which is tidak banyak-banyak amat juga. Lha wong Goplek, masa seluruh rakyat Indonesia suruh mendengarkan orang sinting itu, yang ada Mang Oleh menjawab dengan pantun: ikan hiu makan tomat!
Menurut Goplek, "yang sesungguhnya perlu kita tumbuhkan di situasi serba mengurung seperti ini adalah kesadaran pemburu nomor togel."
"Kesadaran pemburu nomor togel bagaimana?"
"Orang yang sudah kecanduan bermain judi togel itu punya ketajaman dan kepekaan yang tinggi terhadap alam. Apapun bisa mereka hikmahi sebagai tanda, amtsal, atau sign yang selanjutnya mereka terjemahkan menjadi rangkaian nomor-nomor yang akan keluar di dalam arena perjudian. Lihat orang gila merentangkan tiga jarinya ketika merokok, jadi hidayah. Dengar jumlah kokok ayam di pagi buta, jadi ilham. Lihat jumlah buah manggis ketika istirahat makan siang, jadi kode. Semua kejadian dipusatkan dan diusahakan tertemukan pesan-pesan di baliknya. Mereka adalah pembaca setia 'ayat-ayat yang tidak difirmankan'."
"Maksudnya kita mesti jadi penjudi di tengah ancaman resesi global ini? Pasang nomor? Login website HK-Pools? Atau bagaimana maumu? Dagang es kopi susu literan kan masih lumayan menguntungkan. Walau gap profit-nya tidak besar-besar amat."
"Ladang penghidupan memang sedang seret-seretnya, tetapi bukan itu maksudku. Kesadaran penjudi togel adalah kesadaran yang lancip sekaligus sensitif terhadap tanda-tanda apapun yang datang dari Tuhan, termasuk dalam hal ini Corona. Adalah kesanggupan untuk meneteskan hikmah dari periode gelap Covid-19. Sebab yang kurang dari kita ummat manusia selama ini adalah pantulan-pantulan reflektif dari benggala besar bernama Covid-19. Kita belum cukup maksimal merenungi desakan-desakan yang didorongkan oleh Tuhan. Belum cukup punya pemaknaan akan sesuatu yang mendasar dari kasunyatan hidup."
"Apa bukti bahwa kita semua belum cukup prima memaknai Corona?"
"Kesadaran yang hidup dalam masyarakat belum bergeser sedikitpun. Belum ada kelahiran kesadaran baru yang fundamental dan mengakar. Kita masih diam-diam saja. Stagnan. Jumud dalam kejumudan."
Dul Kuntul tidak merespons, anteng bersama TikTok. Asyik menarik jarinya di atas layar gawai, pergi dari satu video ke video lain. Berhenti di satu video, kemudian mengencangkan volume suaranya.
"Lagi nenen pada diem!"
Tanjung Kulon, September 2020.
*Goplek dan kawan-kawan penghuni Pasingsingan tua adalah medium refleksi penulis atas situasi aktual dalam/luar negeri yang biasanya dituangkan pada rubrik "Gardu" dalam website pribadinya: penasambelteri.wordpress.com